A. PENDAHULUAN
Perkembangan penanaman modal di Jawa
Barat dilihat dari posisi perkembangan nasional pada tahun 2017 menunjukkan
kondisi yang positif. Dalam tiga tahun terakhir nilai investasi PMA/ PMDN Jawa
Barat memiliki trend kenaikan, tahun 2015 sebesar 121,51Triliun, tahun 2016
sebesar 143.04 Triliun dan tahun 2017 sebesar 162.72 Triliun (Data DPMPTS
Provinsi Jawa Barat Tahun 2017). Pada Tahun 2017 Provinsi Jawa Barat memiliki
785 proyek PMDN dengan nilai investasi sebesar 94,05 Triliun. Sementara itu,
proyek PMA sebanyak 3.354 dengan nilai investasi sebesar 68,66 Triliun,
merupakan PMA peringkat kedua secara nasional di Indonesia setelah Provinsi DKI
Jakarta.
Dengan keunggulan komparatif dan
kompetitif dalam banyak hal termasuk kemudahan dalam bidang investasi
menempatkan Jawa Barat sebagai salah satu Provinsi tujuan utama investasi.
Dengan berbagai peluang investasi yang dimiliki, Provinsi Jawa Barat dituntut untuk memberikan pelayanan yang
optimal dalam pelaksanaan Perizinan investasi untuk kemudahan berusaha sebagai
bentuk penciptaan pelayanan publik yang lebih responsive dengan menciptakan
inovasi pelayanan publik.
Pusat Kajian Manajemen Pelayanan
Lembaga Administrasi Negara (2012:63) menjelasakan pentingnya inovasi pada
pelayanan publik karena pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan publik
kepada masyarakat secara efektif dan efisien, sehingga secara terus menerus
diharapkan mampu melakukan perubahan. Pemerintah juga diharapkan mampu
memecahkan persoalan-persoalan baru yang muncul sesuai dengan dinamika
perkembangan kehidupan modern yang makin kompleks dimana masyarakat tidak lagi
dapat bergantung pada mekanisme-mekanisme lama untuk menyelesaikan masalah mereka
dengan makin terkikisnya keberadaan institusi tradisional.
Samson dalam Ellitan dan Anatan
(2009:3) juga menerangkan salah satu alasan mengapa inovasi sangat diperlukan
karena cepatnya perubahan lingkungan bisnis yaitu semakin dinamik dan hostile,
sehingga sebuah organisasi harus bisa mengelola inovasi sebagai penentu
keberhasilan organisasi untuk menjadi competitive. Dengan demikian, inovasi
merupakan hal penting dalam setiap pelayanan publik agar masyarakat dapat
terlayani secara efektif dan efisien.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah
berusaha melakukan inovasi yang berkelanjutan untuk memberikan pelayanan
perizinan kepada masyarakat diantaranya sebagai berikut:
- Pembentukan
unit Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) dengan membuat Gerai layanan
perizinan di Kota Bandung yang memiliki kewenangan pelayanan perizinan
berjumlah 109 jenis perizinan;
- Pembentukan
Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) dengan kewenangan yang bertambah
menjadi 205 jenis perizinan. Kemudian dibentuk Gerai layanan perizinan di 4
(empat) kota besar di Jawa Barat yaitu Bogor, Cirebon, Garut dan Purwakarta
serta ditindaklanjuti dengan membuat mobil layanan keliling yang dinamakan
mobil SMS atau Site Mobile Service;
- Pembentukan
Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu (BPMPT) dengan kewenangan bertambah
menjadi 261 jenis perizinan. lnovasi yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan
teknologi informasi yaitu membuat Sistem lnformasi Pelayanan Perizinan Untuk
Publik Jawa Barat atau SIMPATIK JABAR.
Inovasi SIMPATIK JABAR dibangun Dinas
Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu (Dinas PMPTSP) untuk menghubungkan
aplikasi perizinan dengan jaringan internet menggunakan single database antara
Gerai layanan, mobil SMS dan Gerai Bandung sebagai pusat pelayanannya. Aplikasi
SIMPATIK JABAR tersebut memiliki salah satu layanan yaitu pendaftaran perizinan
secara online. Dengan adanya pendaftaran perizinan secara online maka
masyarakat pemohon perizinan dapat membuat pilihan untuk melakukan proses
pengajuan perizinannya.
Pada tahun 2017 Inovasi pelayanan
publik ini mendapat penghargaan Innovative Government Award (IGA) 2017, bahkan
inovasi SIMPATIK JABAR direkomendasikan KPK untuk direplikasi di 17 Provinsi
lainnya di Indonesia.
Namun dalam prakteknya pelaksanaan
SIMPATIK JABAR masih dihadapkan pada permasalahan diantaranya : Pertama, Tim
Teknis PTSP masih berkedudukan di Perangkat Daerah Teknis dan belum berkantor
pada Dinas Penananaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Jawa
Barat, dengan demikian pelayanan teknis tetap masih ada pada dinas terkait
sehingga menghambat akses pembahasan perizinan dan membuat jeda waktu dalam
penerbitan perizinan lebih lama. Hal ini juga tidak sesuai dengan konsep PTSP
sebagaimana dicantumkan dalam Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu bahwa PTSP adalah pelayanan secara
terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai
dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu, dengan tujuan
untuk memperpendek proses pelayanan dan mewujudkan proses pelayanan yang cepat,
mudah, murah, transparan, pasti, dan terjangkau. Kemudian dalam Renstra DPMPTSP
Provinsi Jawa Barat disebutkan salah satu isu strategis pada tahun 2017-2018
adalah Konektifitas jaringan dengan Perangkat Daerah teknis belum berfungsi dan
Tim Teknis dari Perangkat Daerah terkait belum berfungsi secara Optimal. Selain
itu, proses rekomendasi dari Tim Teknis belum terintegrasi dengan aplikasi
SIMPATIK JABAR, sehingga untuk memproses rekomendasi dari tim teknis menambah
waktu dalam bisnis proses yang dijalankan.
Gambar
1. IKM Pelayanan DPMPTSP 2014-2018
Sumber : Renstra DPMPTSP Provinsi Jawa Barat
Kedua, Provinsi Jawa Barat pada tahun
2018 adalah 79,56 dengan predikat Baik. Dari grafik 1 dapat dilihat bahwa
capaian IKM Pelayanan Perizinan DPMTSP pada tahun 2014 melampaui target, pada
tahun 2015 dan tahun 2016 mengalami penurunan dan tidak mencapai target.
Capaian IKM kembali meningkat cukup siginifikan pada tahun 2017 dan tahun 2018,
namun pencapaian tersebut belum memenuhi target yang ditetapkan sebagaimana
tercantum pada Rencata Strategis DPMPTSP Provinsi jawa Barat Tahun 2017-2018,
dan jika dibandingkan antara capaian IKM tahun 2014 dengan tahun 2018, kenaikan
di tahun 2018 hanya 0,60 dari tahun 2014. Dari gambaran data tersebut artinya
DPMPTSP Provinsi Jawa Barat masih memiliki tugas besar untuk terus meningkatkan
kinerja pelayanan publiknya.
Inovasi
SIMPATIK JABAR kiranya dapat mengungkit pencapaian Indeks Kepuasan Masyarakat
terhadap pelayanan perizinan DPMPTSP Provinsi Jawa Barat, namun jika dilihat
dari data di atas pencapaian IKM DPMPTSP Provinsi Jawa Barat masih rendah
dan belum ada pencapaian target yang
signifikan.
B. LANDASAN
TEORITIS
Konsep Inovasi
Menurut Rogers (1983:210) menyatakan
bahwa An innovation is an idea, practice, or object that is perceived as a new
individual or other unit of adapter, yang artinya inovasi sebagai suatu ide,
gagasan, praktek atau objek atau benda yang disadari dan diterima sebagai suatu
hal yang baru oleh seseorang atau kelompok untuk diadopsi.
Kemudian menurut Damanpour (1998:6)
sebuah inovasi dapat berupa produk atau jasa yang baru, teknologi proses
produksi yang baru, sistem struktur dan administrasi baru atau rencana baru
bagi anggota organisasi. Sedangkan menurut Albury dalam Suwarno (2008:10)
secara lebih sederhana mendefinisikan inovasi sebagai new ideas at work. Ini berarti
bahwa inovasi selalu berhubungan erat dengan ide-ide baru yang bermanfaat. Sementara Dasgupta dan Gupta (2009:205) memahami inovasi
sebagai kesuksesan dalam memperkenalkan hal baru yang memiliki nilai guna
seperti metode, teknik, praktek, produk atau pelayanan baru. Inovasi juga
dilihat sebagai proses memikirkan dan mengimplementasikan hasil pemikiran
sehingga menghasilkan hal baru berbentuk produk, jasa, proses bisnis, cara
baru, kebijakan, dan sebagainya (Ancok, 2012).
Rogers (1993:210) menyebutkan bahwa
inovasi mempunyai atribut, “We are working toward a comprehensive set of
characteristics of innovations that are as mutually exclusive and as
universally relevant as possible. The five attributes of innovations are (1)
relative advantage, (2) compatibility, (3) complexity, (4) trialability, and
(5) observability.” Atribut ini merupakan karakteristik dari sebuah inovasi
yang komprehensif dan bersifat umum, artinya dapat digunakan untuk inovasi
secara luas.
Selanjutnya,
Hutagalung (2018:25) menjelaskan teori Rogers terkait atribut inovasi sebagai
berikut:
1) Relative
Advantage (Keuntungan Relatif)
Sebuah inovasi harus mempunyai keunggulan dan
nilai lebih dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Selalu ada sebuah nilau
kebaruan yang melekat dalam inovasi yang menjadi ciri yang membedakannya dengan
yang lain.
2) Compatibility
(Kesesuaian)
Inovasi juga mempunyai sifat kompatibel atau
kesesuaian dengan inovasi yang digantinya. Hal ini dimaksudkan agar inovasi
yang lama tidak serta merta dibuang begitu saja, selain karena alasan faktor
biaya yang tidak sedikit, namun juga inovasi yang lama menjadi bagian dari
proses transisi ke inovasi terbaru. Selain itu juga dapat memudahkan proses
adaptasi dan proses pembelajaran terhadap inovasi itu secara lebih cepat.
3) Complexity
(Kerumitan)
Dengan sifatnya yang baru, maka inovasi
mempunyai tingkat kerumitan yang boleh jadi lebih tinggi dibandingkan dengan
inovasi sebelumnya. Namun demikian, karena sebuah inovasi menawarkan cara yang
lebih baru dan lebih baik, maka tingkat kerumitan ini pada umumnya tidak
menjadi masalah penting.
4) Triability
(Kemungkinan
Dicoba)
Inovasi hanya bisa diterima apabila telah
teruji dan terbukti mempunyai keuntungan atau nilai lebih dibandingkan dengan
inovasi yang lama. Sehingga sebuah produk inovasi harus melewati fase “uji
publik”, dimana setiap orang atau pihak mempunyai kesempatan untuk menguji
kualitas dari sebuah inovasi.
5) Observability (Kemudahan
Diamati)
Sebuah inovasi harus juga dapat diamati, dari
segi bagaimana ia bekerja dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
Inovasi adalah hal baru yang memerlukan
proses dalam pengaplikasiannya. Artinya bahwa tidak semua inovasi dapat secara
langsung diterima/ diadopsi oleh kalayak umum. Inovasi perlu dikomunikasikan
terlebih dahulu, kemudian proses putusan inovasi, yakni proses
seseorang/individu menerima atau menolak
suatu inovasi. Menurut Rogers dalam
Sa’ud (2014:35) bahwa proses pengambilan keputusan inovasi adalah proses mental
dimana seseorang/individu berlalu dari pengetahuan pertama mengenai suatu inovasi
dengan membentuk suatu sikap terhadap inovasi, sampai memutuskan untuk menolak
atau menerima, melaksanakan ide-ide baru dan mengukuhkan terhadap keputusan
inovasi. Mekanisme terkait pengambilan keputusan inovasi terdiri atas lima
tahap, yaitu: pengetahuan (knowledge), persuasi (persuasion), keputusan
(decision), pelaksanaan (implementation), dan konfirmasi (confirmation).
Inovasi
Pada Organisasi Pemerintah
Kaitannya
dengan Inovasi pada Organisasi Pemerintah, Osborne (1998) dalam Flyin
(2017:103) menjelaskan bahwa terdapat 4 jenis inovasi organisasi pemerintah,
yaitu developmental innovation,
expansionary innovation, evolutionary innovation, dan total innovation.
1)
Innovations that result in improvements of
existing services for existing clients are called developmental, and they
merely enrich and strengthen the delivery of present public services.
2)
Existing services provided to new clients
defined as Expansionary Innovation.
3)
New Services for existing clients give rise
to Evolutionary Innovation.
4)
Total Innovation. The Provision of new
services to new client is characterirised as Total Innovation.
Selanjutnya Samson dalam Ellitan dan Anatan
(2009:3) menerangkan salah satu alasan mengapa inovasi sangat diperlukan karena
cepatnya perubahan lingkungan bisnis yaitu semakin dinamik dan hostile, sehingga sebuah organisasi
harus bisa mengelola inovasi sebagai penentu keberhasilan organisasi untuk
menjadi competitive.
Secara lebih rinci, Pusat Kajian Manajemen
Pelayanan Lembaga Administrasi Negara (2012:63) menyebutkan bahwa kebutuhan
akan inovasi dalam pelayanan publik disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1) Masyarakat Indonesia makin terdidik mengalami
peningkatan pendidikan dari masyarakat pendapatan rendah ke pendapatan
menengah, mengalami proses demokratisasi sehingga makin memahami hak-hak
mereka. Implikasinya, masyarakat akan semakin demanding untuk mendapatkan pelayanan yang lebih berkualitas dari
pemerintah;
2) Pemerintah diharapkan lebih akuntabel dalam
menggunakan dana publik. Tidak hanya berkaitan dengan pertanggungjawaban
penggunaannya yang memenuhi kaidah administrasi keuangan, akan tetapi juga yang
berkaitan dengan value for money;
3) Pemerintah dituntut untuk memberikan
pelayanan publik kepada masyarakat secara efektif dan efisien, sehingga secara
terus menerus diharapkan mampu melakukan perubahan;
4) Pemerintah diharapkan mampu memecahkan
persoalan-persoalan baru yang muncul sesuai dengan dinamika perkembangan kehidupan
modern yang makin kompleks dimana masyarakat tidak lagi dapat bergantung pada
mekanisme-mekanisme lama untuk menyelesaikan masalah mereka dengan makin
terkikisnya keberadaan institusi tradisional;
5) Pemerintah dituntut memapu menciptakan
pelayanan publik yang mampu mendorong competitivenes
masyarakat dalam menghadapi tantangan global sehingga masyarakat mampu
memanfaatkan berbagai peluang yang ada untuk menyelesaikan masalah mereka
maupun meningkatkan kesejahteraan;
6) Pemerintah menghadapi tantangan makin terbatasnya
anggaran, sementara
kompleksitas dan tuntutan
masyarakat terus berkembang sehingga dituntut untuk makin kreatif mencari
sumber-sumber pendanaan dalam memberikan pelayanan publik.
Dalam
pelaksanaannya, inovasi tidak dapat begitu saja berjalan dengan baik. Menurut Raipa dan Giedraityte dalam Ridlowi
(2016:25) memperlihatkan hambatan utama inovasi pada organisasi pemerintah
terkait dengan kurangnya sumber daya pegawai potensial, kurangnya aturan yang
mendukung iklim inovasi, kurangnya dukungan dari manajemen dan insentif bagi
staf, ketidakpastian penerimaan dari pengguna layanan, hambatan budaya serta
adanya resistensi dari pegawai. Sementara itu Hasil kajian oleh LAN (2014)
menunjukkan faktor-faktor penghambat inovasi organisasi pemerintah diantaranya:
1)
Ketergantungan
yang tinggi kepada high performers yang seringnya menjadikan top leader sebagai
sumber inovasi;
2)
Struktur
kerja, budaya organisasi, serta proses birokrasi yang berbelit-belit meskipun
teknologi tersedia;
3)
Tidak
ada reward atau insentif untuk melakukan inovasi;
4)
Lemahnya
kompetensi sumber daya pelaksana;
5)
Kurangnya
dukungan anggaran;
6)
Tidak
selarasnya tuntutan penyelenggaraan pelayanan publik dengan beban tugas
administrative;
7)
Budaya
status quo dan takut mengambil resiko.
Konsep
Pelayanan Publik
Ratminto & Winarsih (2005:5)
mengemukakan bahwa Pelayanan Publik adalah segala bentuk jasa pelayanan, baik
dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggungjawab
dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di
lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelak-sanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Menurut Doherty dalam Wirijadinata (2017:154)
menyatakan bahwa fungsi pelayanan publik sering ditetapkan berdasarkan peraturan perundangan. Pelayanan
publik dengan demikian harus dipertanggung jawabkan sebagai akuntabilitas
pelayanan publik.
Dari definisi tersebut diatas, maka
pelayanan publik dapat disimpulkan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat berupa
penyediaan barang publik berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan harus
dipertanggung jawabkan secara akuntabel.
Selanjutnya
Pengertian Kualitas Pelayanan menurut Wayckoff dalam Wirijadinata (2017:154) :
“quality is the degree of excellence intended,
and the controll of variability in achieving thatexcellence, in meeting the
customer's requirements.” (kualitas
adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat
keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan).
Definisi lain, menurut Garvin dan Davis
dalam Firmanto (2013:8) menyatakan bahwa : Kualitas adalah suatu kondisi
dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas,
serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen. Meskipun tidak ada definisi mengenai
kualitas yang diterima secara universal, namun dari beberapa definisi di atas
terdapat beberapa persamaan, yaitu dalam elemen-elemen sebagai berikut : 1)
Kualitas mencangkup usaha memenuhi atu melebihi harapan pelanggan; 2) Kualitas
mencangkup produk, tenaga kerja, proses, dan lingkungan; 3) Kualitas merupakan
kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap merupakan kualitas saat
ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada masa mendatang).
Dari
pengertian tersebut, maka makna dari kualitas pelayanan dapat dijelaskan bahwa
kualitas bersifat relatif karena bersifat dinamis tergantung kepada kepuasan
masing-masing pengguna pelayanan, oleh karena itu perlu kesepakatan standard
kualitas yang menurut Zeithaml, et al dalam Wirijadinata (2017:155) Kualitas pelayanan
ditentukan oleh dua hal : expected
service
dan perceived service. Expected service dan
perceived service ditentukan oleh dimension of service quality yang terdiri :
1) Tangibles.: Appearance of physical facilities,equipment,
personnel, and communication materials;
2) Reliability: Ability to perform the promised service
dependably and accurately;
3) Responsiveness: Willingness to help customers and provide
prompt service;
4) Assurance : Knowledge and courtesy of employees and their
ability to convey trust and confidence, and
5) Empathy: The firm provides care and individualized attention
to its customers.
Pelayanan
Terpadu Satu Pintu
Pelayanan
Terpadu Satu Pintu bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik,
melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) pelayanan perizinan dilakukan dan
dipusatkan dalam satu tempat. Menurut
Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 24
tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Terpadu, Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah kegiatan penyelenggaraan
perizinan dan non
perizinan yang proses
pengelolaannya dimulai dari
tahap permohonan sampai ke tahap penerbitan izin dokumen, dilakukan
secara terpadu dalam satu tempat. Dengan konsep ini, pemohon cukup datang ke
satu tempat dan bertemu dengan petugas front office saja. Hal ini dapat
meminimalisir interaksi antara pemohon dengan petugas sehingga dapat
menghindari pungutan-pungutan tidak resmi yang seringkali terjadi dalam proses
pelayanan.
Menurut
Trochidis dalam Rusli (2010:) perlu dikembangkan model kelembagaan pelayanan
publik yang dapat memudahkan masyarakat dan kalangan dunia usaha untuk
berurusan dengan pemerintah. Salah satu konsep yang dikembangkan adalah model
pelayanan yang mengintegrasikan berbagai jenis pelayanan pemerintah di satu
lokasi. Model pelayanan publik seperti ini memiliki berbagai istilah seperti onestop government, integrated service
delivery, seamless government, joined up government, single access point,
one-stop shop, one-stop services.
Selanjutnya
Menurut Trochidis dalam Rusli (2010:11) menjelaskan bahwa sistem pelayanan
publik yang terintegrasi menjanjikan pelayanan yang mulus dari berbagai
organisasi pemerintah, menciptakan efisiensi dan pengalaman pelayanan yang
lebih baik bagi penyedia layanan serta pengguna layanan itu sendiri. Sedangkan
di Indonesia, istilah One Stop Service
lebih dikenal dengan model Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
Model
pelayanan one-stop services menurut
Kubicek dan Hagen dalam Rusli (2010:11), memiliki berbagai tujuan sebagai
berikut:
1) Memberikan
perhatian kepada kebutuhan masyarakat dan dunia usaha dan meningkatkan citra
administrasi publik
2) Interaksi
yang efisien dan efektif antara masyarakat dengan instutusi publik, dan bahkan
dapat menghemat biaya pelayanan administratif.
Dalam
mengelola model pelayanan publik dengan model pelayanan terpadu satu pintu
menurut Kubicek dan Hagen dalam Rusli (2010:12) ada beberapa aspek yang perlu
dipertimbangkan yaitu aspek koordinasi antar institusi pemerintah pemberi
pelayanan, aspek hukum, teknologi, sumber daya manusia dan pengganggaran.
Dengan kata lain pengembangan model pelayanan publik yang berorientasi kepada
pelanggan harus memperhatikan kapasitas kelembagaan dan kewenangan, sistem dan
etika pelayanan, prasarana fisik pelayanan, dan kapasitas SDM dan memberikan
insentif.
Dari
berbagai pejelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pelayanan perizinan dengan
sistem terpadu satu pintu (one stop service)
ini membuat waktu pembuatan izin menjadi lebih singkat. Pasalnya, dengan
pengurusan administrasi berbasis teknologi informasi, input data cukup
dilakukan sekali dan akan proses sesuai ketentuan sampai dengan selesai. Dengan
adanya kelembagaan pelayanan terpadu satu pintu, seluruh perizinan dan non
perizinan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dapat terlayani dalam satu
lembaga.
C.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif karena dibutuhkan pemahaman terhadap
fenomena yang terjadi dalam menyelenggarakan inovasi pelayanan perizinan pada
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Jawa Barat.
Data diperoleh melalui wawancara, studi
dokumentasi dan observasi. Wawancara dilakukan dengan teknil awancara mendalam
(Probing) terhadap 16 (enam belas)
orang narasumber yang
terdiri ASN Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pengguna layanan (investor/
pemohon izin), dengan melibatkan keduanya diharapkan penelitian ini bisa
memberikan info yang lengkap dan reliable yang diperlukan
bagi pengembangan inovasi SIMPATIK JABAR guna meningkatkan kualitas pelayanan
perijinan. Studi Dokumentasi dilakukan dengan mempelajari literatur, peraturan
perundangan yang berlaku, Rencana Strategis DPMTPSP Provinsi Jawa Barat,
dokumen standar pelayanan, prosedur dan tatakerja, laporan kegiatan dan dokumen
anggaran serta dokumen lain yang relevan. Sedangkan observasi dilakukan dengan
mengamati secara sistematis pada pelaksanaan
SIMPATIK JABAR yang meliputi kondisi tempat pelayanan, interaksi pemohon dengan
petugas pelayanan, cara kerja SIMPATIK JABAR, kondisi Tim Teknis, dan proses
rapat monitoring dan evaluasi. Peneliti menggunakan metode analisis
Interaktif dari Miles dan Huberman (2004:16-19) untuk menganalisis data dari
lapangan yang diperoleh menggunakan Atribut/ Karakteristik Inovasi menurut
Rogers (1983). Dari hasil analisis kemudian dirumuskan menjadi sebuah model
pengembangan inovasi menggunakan pendekatan Innovation
Development Process dari USAID (2012) dengan tahapan sebagai berikut:
1)
Define Problem/ Ideas
Tahap
pertama dilakukan dengan melaksanakan identifikasi berbagai permasalahan atau
ide yang muncul sementara untuk nantinya akan diidentifikasi lebih lanjut.
2)
Discover User Needs / Requirement and
Insight
Tahap
kedua dilakukan dengan cara mengidentifikasi permasalahan secara terstruktur
pada pelaksanaan Inovasi pelayanan perizinan SIMPATIK JABAR kemudian
mengumpulkan berbagai data melalui wawancara, telaahan dokumen dan observasi
untuk memperkuat permasalahan tersebut agar lebih terstruktur, dan mendapatkan
suatu permasalahan yang benar-benar butuh penyelesaian.
3)
Design The Solution : Teach and
Operational Model
Tahap
ketiga adalah dilakukan dengan merancang alternatif solusi pemecahan masalah
dan model operasional pengembangan Inovasi pelayanan perizinan SIMPATIK JABAR.
4)
Develop Prototype of Minimum Viable
Product (MVP), partnerships comms.
Tahapan
Selanjutnya adalah membangun model, dapat dilakukan melalui sebuah prototype
dan/ atau kemitraan. Peneliti akan menyajikan hal baru sebagai bentuk
pengembangan dari inovasi yang sudah dilaksanakan sebelumnya sekaligus menjadi
solusi pemecahan masalah dalam pelaksanaan inovasi sebelumnya.
5)
Deploy, Measure and learn from pilot.
Improvement & iteration
Pada tahapan ini adalah melaksanakan
implementasi dari model yang telah dibuat untuk diterapkan dan disebarluaskan
di dalam organisasi. Nantinya setelah
model diterapkan, maka akan dilaksanakan proses evaluasi untuk kesempurnaan
model lebih lanjut.
D. HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hadirnya Teknologi Informasi merupakan
paradigma baru dalam proses pelayanan publik, salah satunya dalam pelayanan
perizinan. Hadirnya SIMPATIK JABAR menunjukan bahwa agenda inovasi telah masuk pada
sistem kerja pemerintahan. Penciptaan Inovasi SIMPATIK JABAR merupakan strategi
perubahan cara dan mekanisme kerja berbasis pada penggunaan teknologi informasi
untuk meningkatkan kualitas kerja.
Dalam perspektif jenis inovasi
organisasi pemerintah, Osborne (1998) dalam Flyin (2017:103)
mengklasifikasinya kedalam empat
jenis yang berbeda yakni developmental change, expansionary
innovation, evolutionary innovation, dan total innovation. Bentuk inovasi
SIMPATIK JABAR lebih mendekati aksi total
innovation yang merupakan penggunaan
cara pelayanan baru disesuaikan dengan tingkat
kebutuhan dari pelanggan.
Sementara dalam kacamata strategi
inovasi, terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjalankan inovasi
yaitu strategi inovasi proses dan inovasi pelayanan (Hilman & Kaliappen,
2015). Jika dilihat dari kedua strategi
tersebut, inovasi SIMPATIK JABAR ini merupakan bagian dari inovasi proses
karena mengetengahkan sebuah metode, cara, dan pengetahuan baru dalam menjalankan pelayanan perizinan.
Selanjutnya pada penelitian ini
dilakukan analisis terhadap pelaksanaan inovasi pelayanan perijinan SIMPATIK
JABAR, peneliti menggunakan teori atribut inovasi dari Rogers (1993:210) yang
dijelaskan kembali dalam Hutagalung (2018:25) yang terdiri dari Relative Advantage (Keuntungan Relatif),
Compatibility (Kesesuaian), Complexity (Kerumitan), Triability (Kemungkinan Dicoba) dan Observability (Kemudahan Diamati).
Peneliti menggunakan teori ini dengan pertimbangan sebagaimana disampaiakan
Rogers bahwa Atribut Inovasi ini merupakan karakteristik yang komprehensif dan
bersifat umum, artinya dapat digunakan untuk inovasi secara luas. Sehingga
peneliti melihat bahwa kelima atiribut inovasi ini dapat digunakan untuk
menganalisis inovasi pelayanan perijinan SIMPATIK JABAR secara komprehensif
sehingga dapat diperoleh data-data yang relavan untuk pengembangan inovasi ini
Hasil analisis terhadap pelaksanaan
Inovasi pelayanan perizinan SIMPATIK JABAR dengan pendekatan Teori Atribut
Inovasi Rogers sebagai berikut :
1)
Relatif Advantage (Keuntungan Relatif)
Inovasi SIMPATIK
JABAR mempunyai nilai kebaruan dan keunggulan atau nilai lebih sebagai sebuah
inovasi. Selain itu Inovasi ini memudahkan dan membantu masyarakat dalam
pelayanan perizinan, karena proses nya yang mudah dengan memanfaatkan teknologi
informasi, dimulai dari pendaftaran, pengaduan, dan pengecekan status proses
izin yang diajukan sampai izin itu selesai. Hal ini ditunjukan juga dengan
perolehan nilai Survei Kepuasan Masyarakat terhadap “Kemudahan penggunaan dan efektifitas aplikasi Simpatik untuk
mendapatkan layanan perijinan yang diajukan” mendapatkan nilai 80,06 dengan
predikat BAIK.
2)
Compatibilty (Kesesuaian)
Dari aspek Kesesuaian/ Compatibilty pelaksanaan Inovasi SIMPATIK JABAR belum sepenuhnya sesuai
dengan harapan dari masyarakat/pemohon yang menginginkan proses penyelesaian
izin cepat selesai dan tepat waktu sesuai dengan SOP yang ditetapkan, Sehingga
adanya keterlambatan ini memberikan penilaian yang kurang terhadap kinerja
pelayanan DPMPTSP Provinsi Jawa Barat. Kemudian berdasarkan analisis data dapat
dijelaskan juga bahwa keterlambatan penyelesaian proses izin yang terjadi
dikarenakan Tim Teknis yang lambat dalam menyelesaikan saran-saran teknis
terhadap izin yang diajukan, salah satu penyebabnya adalah karena Tim Teknis
belum berada di bawah DPMPTSP Provinsi Jawa Barat. Kondisi ini menunjukan bahwa
dalam pelaksanaan Inovasi SIMPATIK JABAR belum sepenuhnya sesuai dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dikarenakan belum melaksanakan amanat
Permendagri No 138 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan PTSP, pada pasal 46 yang
mengamanatkan bahwa Tim Teknis PTSP harus ditempatkan dan berkantor di DPMPTSP.
3)
Complexity (Kerumitan)
Inovasi SIMPATIK
JABAR dinilai lebih mudah untuk dilaksanakan dan direplikasi. Dari pandangan
pemohon, Inovasi SIMPATIK JABAR dinilai lebih praktis dan user friendly. Dengan kemudahannya tersebut, Inovasi SIMPATIK JABAR
menjadi Pilot Project KPK RI dalam pencegahan korupsi untuk 17 Provinsi di
Indonesia. Proses Inovasi ini didukung oleh mobilisasi Sumber Daya Manusia,
Sumber Daya Keuangan/Anggaran, dan Sumber Daya Sarana Prasarana melalui sebuah
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi secara bertahap.
4)
Triability (Kemungkinan Dicoba)
Pengembangan
Inovasi SIMPATIK JABAR menunjukan bahwa inovasi ini sangat dinamis dan dapat
disesuaikan dengan kebutuhan tertentu, hal ini yang menjadikan Inovasi ini
mudah untuk dicoba, diterapkan dan direplikasi. Berdasarkan data Dinas PMPTSP
Provinsi Jawa Barat, sampai bulan april 2019 Inovasi SIMPATIK JABAR ini telah
direplikasi oleh 18 Pemerintah Daerah yang terdiri dari 15 Pemerintah Daerah
Provinsi dan 3 Pemerintah Daerah Kabupaten.
5)
Observability (Kemudahan Diamati)
Inovasi
SIMPATIK JABAR telah memberikan perubahan yang signifikan terhadap proses
pelayanan perizinan di Pemprov Jabar, beberapa hal yang dapat dilihat dan
dirasakan hasilnya adalah : a) Pendaftaran lebih mudah, tanpa jarak, tanpa
tatap muka dan dilakukan dari mana saja secara online; b) Informasi persyaratan
Izin dan Cek Status Izin lebih mudah diakses melalui website dengan notifikasi SMS dan email; c) Penyelesaian permasalahan
pengaduan masyarakat secara transparan
sebagai pengendalian perizinan; d) Proses penandatanganan naskah izin dapat
dilakukan dengan cepat dimana saja dan kapan saja, karena menggunakan
tandatangan digital; e) Pengelolaan data arsip lebih terstruktur sehingga
memudahkan evaluasi dan pelaporan. Selain itu,inovasi simpatik ini dinilai
berhasil menghilangkan
pungutan liar yang dilakukan oleh para calo perizinan. Untuk mendapatkan hasil
yang optimal, Dinas PMPTSP Provinsi Jawa Barat senantiasa melakukan monitoring
dan evaluasi terhadap pelaksanaan SIMPATIK JABAR melalui rapat dan FGD.
Model
Pengembangan Inovasi SIMPATIK JABAR
Selanjutnya
Peneliti akan menganalisis dan
merumuskan model pengembangan inovasi Pelayanan Perijinan SIMPATIK JABAR yang
dimungkinkan untuk diterapkan dan diimplementasikan menjadi salah satu solusi
untuk penyelesaian permasalahan-permasalahan yang ada sehingga dapat
meningkatkan kualitas pelayanan perizinan pada Dinas Penanaman Modal dan
Perijinan Terpadu Satu Pintu Provinsi Jawa Barat.
Dengan mempetimbangkan hasil wawancara,
telaahan dokumen dan observasi terkait Pelaksanaan Inovasi Pelayanan Perizinan
SIMPATIK JABAR pada DPMPTSP Provinsi Jawa Barat dapat dijelaskan bahwa sampai
saat ini belum ada Model Pengembangan Inovasi SIMPATIK JABAR, maka dari itu
peneliti mencoba merumuskan dan menawarkan sebuah model pengembangan inovasi
pelayanan perizinan SIMPATIK JABAR dengan berpedoman kepada teori Development Innovation Process (USAID,
2014:12) sebagai berikut:
1)
Define Problem/ Ideas
Tahap pertama dilakukan dengan
melaksanakan identifikasi berbagai permasalahan atau ide yang muncul sementara
untuk nantinya akan diidentifikasi lebih lanjut. Berdasarkan hasil analisis
teori inovasi sebagaimana telah diuraikan di atas dapat dijelaskan bahwa
masalah yang menonjol dalam pelaksanaan inovasi pelayanan perizinan SIMPATIK
JABAR terletak pada aspek kesesuaian. Lambatnya proses penyelesaian izin
melebihi standar waktu yang ditentukan yang disebabkan oleh lambatnya
penyelesaian saran-saran teknis oleh Tim Teknis PTSP yang belum berada di bawah
DPMPTSP Provinsi Jawa Barat, sehingga peneliti melihat permasalahan Tim Teknis
ini sebagai prioritas utama untuk dikaji secara mendalam dan dicarikan solusi
pemecahannya. Dari permasalahan ini ide yang muncul adalah Integrasi Tim Teknis
dengan DPMPTSP dengan pengembangan hal-hal yang baru yang sebelumnya belum ada
di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Jawa Barat.
2)
Discover User Needs / Requirement and
Insight
Tahap kedua dilakukan dengan cara
mengidentifikasi permasalahan secara terstruktur kemudian mengumpulkan berbagai
data melalui wawancara, telaahan dokumen sementara dan observasi untuk
memperkuat permasalahan tersebut agar lebih terstruktur, dan mendapatkan suatu
permasalahan yang benar-benar butuh penyelesaian. Berdasarkan seluruh hasil
wawancara, studi dokumentasi dan observasi terkait permasalahan tim teknis
sebagaimana telah dijelaskan di atas dapat diidentifikasikan beberapa pokok
permasalahan sebagai berikut :
a)
Sumber
Daya Manusia
Berkaitan dengan kuantitas dan kualitas
SDM Tim Teknis. Kuantitas berkaitan dengan Jumlah Tim Teknis, sedangkan
kualitas berkaitan dengan Kompetensi dan kemampuan tim teknis dalam bidangnya. Berdasarkan
Data DPMPTSP Provinsi Jawa Barat dapat dijelaskan bahwa pada tahun 2018
terdapat 18.798 permohonan izin yang masuk ke DPMPTSP Provinsi Jawa Barat,
dengan rincian 14.882 izin yang diterbitkan (72,17 %), 223 izin yang ditolak
(1,19%) dan 3.693 izin yang masih dalam proses. Dari sebaran jumlah permohonan
izin yang masuk yang paling banyak berasal dari bidang perhubungan dimana pada
tahun 2018 terdapat 9.521 permohonan, yang diterbitkan 8799 izin, yang ditolak
2 izin dan sisanya 720 masih dalam proses. Jika dibandingkan antara jumlah
permohonan izin yang masuk dan tim teknis yang ditugaskan menyusun saran
teknis, peneliti dapat menjelaskan bahwa data ini mendukung beberapa pernyataan
informan yang menyatakan bahwa keterlambatan penyusunan saran teknis
dikarenakan kurangnya SDM Tim Teknis.
Selain itu, ditemukan bahwa pada jenis
pelayanan perizinan selain bidang perhubungan rasio jumlah tim teknis lebih
besar dari pada jumlah jenis layanan perizinan, namun pada penyelesaian izin
sampai izin itu diterbitkan rata-rata hanya 50% dari jumlah permohonan izin
yang masuk. Misalnya pada bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Jumlah Layanan
Perizinan 30 dengan Tim Teknis 37 orang, dari 3.159 permohonan izin yang masuk
baru 1.965 izin yang selesai dan diterbitkan. Kemudian pada bidang Pekerjaan
Umum dan Penataan Ruang Jumlah Layanan Perizinan 5 dengan Tim Teknis 38 orang,
dari 871 permohonan izin yang masuk baru 427 izin yang selesai dan diterbitkan.
Kedua fakta ini menunjukan bahwa dalam proses penyelesaian izin oleh tim teknis
perlu diperhatikan juga kompetensi dan kualitas kinerja/ performa yang dimiliki
tim teknis tersebut.
b)
Sarana
Prasarna
Berkaitan dengan fasilitas dan
infrastruktur pendukung Tim Teknis seperti fasilitas gedung/ ruangan dan
infrastruktur Teknologi Informasi. Berdasarkan hasil penelitian dapat
dijelaskan bahwa pada saat DPMPTSP Provinsi Jawa Barat berkantor di Jl.
Sumatera, kondisi gedung sangat sempit dan tidak bisa menyediakan ruangan untuk
Tim Teknis, sehingga dari permasalahan ini belum dimungkinkan tim teknis untuk
berkantor di DPMPTSP Provinsi Jawa Barat. Hal ini berlangsung kurang lebih
selama 3 tahun sejak pembentukan DPMPTSP pada tahun 2016. Pada tahun 2019
kantor DPMPTSP Provinsi Jawa Barat pindah ke Jl. Windu dan mempunyai gedung
perkantoran yang lebih luas sehingga dimungkinkan untuk disiapkan tempat untuk
Tim Teknis. Permasalahan selanjutnya terkait sarana prasarna IT di tiap-tiap
Perangkat Daerah teknis yang kondisinya berbeda-beda, hal ini sedikit banyak
dapat berdampak terhadap kinerja dari tim teknis dalam menyelesaikan
saran-saran/ pertimbangan teknis perizinan.
c)
Kelembagaan
Berkaitan dengan manajemen dan
kedudukan tim teknis serta kebijakan insentif tim teknis. Hasil penelitian
menunjukan bahwa selama ini tim teknis PTSP belum mendapat insentif/ tambahan
penghasilan khusus sebagaimana tugas yang dibebankan selaku tim teknis PTSP,
padahal secara aturan tim teknis merupakan bagian dari pelaksanaan pelayanan
perizinan, selain itu juga untuk Pemerintah Provinsi Jawa Barat berdasarkan
hasil analisis kelembagaan Dinas PMPTSP masuk ke dalam Dinas Tipe A yang
dinilai mempunyai beban kerja dan resiko kerja yang tinggi sehingga ASN nya
mendapatkan tunjangan yang lebih tinggi dibandingkan Perangkat Daerah yang
lainnya. Berdasarkan telaahan dokumen ditemukan bahwa dalam Keputusan Gubernur
Jawa Barat Nomor 069.05/Kep.498-DPMPTSP/2018 tentang Tim Teknis Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu pada diktum keenam disebutkan bahwa status ASN
yang ditugaskan dalam Tim Teknis adalah Penugasan yang secara administratif,
termasuk gaji dan tunjangan jabatan tim teknis masih berada pada Perangkat
Daerah asal.
3)
Design The Solution : Teach and
Operational Model
Tahap ketiga adalah dilakukan dengan merancang alternatif solusi
pemecahan masalah dan model operasional pengembangan Inovasi pelayanan
perizinan SIMPATIK JABAR. Berdasarkan analisis di atas dapat dijelaskan bahwa
pokok permasalahan pelaksanaan Inovasi pelayanan perizinan SIMPATIK JABAR
terletak pada Tim Teknis yang meliputi Permasalahan Sumber Daya Manusia,
Permasalahan Sarana Prasarana dan Permasalahan Kelembagaan. Uraian alternatif
pemecahan masalah peneliti klasifikasikan berdasarkan masing-masing aspek dan
solusi permasalahannya dibagi kedalam 3 (tiga) tahap yaitu Solusi Jangka
Pendek, Solusi Jangka Menengah dan Solusi Jangka Panjang sebagaimana tabel
berikut :
Pernyataan UNESCO: Mengubah ancaman COVID-19 menjadi peluang untuk dukungan yang lebih besar terhadap warisan dokumenter