Rabu, 01 Oktober 2014

KRITIK OTONOMI KHUSUS PROVINSI DKI JAKARTA

KRITIK OTONOMI KHUSUS PROVINSI DKI JAKARTA

Oleh:
Singgih Usman Fuadi, S.IP
dan
Nurhakim Ramdani F, S.IP





SEJARAH OTSUS DKI JAKARTA

Jakarta mempunyai sejarah panjang bagaimana kota ini mampu menjadi ibu kota negara dan dapat dikatakan sebagai “icon” Indonesia. Lekat pengetahuan akan adanya sejarah yang terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 dimana waktu itu armada asing berhasil dikalahkan oleh pasukan Fatahillah, atau yang lebih dikenal dengan nama Sunda Kelapa yang berubah nama menjadi Jayakarta dan baru menjadi nama Jakarta seperti yang telah kita ketahui saat ini. Nama Jakarta sendiri didapat setelah masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Waktu itu Jakarta dikenal dengan nama Batavia yang merupakan pusat pemerintahan bangsa Belanda. Pada tahun 1945 Kota Jakarta juga mempunyai sejarah sebagai tempat diproklamasikan kemerdekaan Negara Republik Indonesia, sehingga Jakarta disebut sebagai kota khusus karena sejarahnya tersebut.
Status sebagai Ibu Kota Negara pun mengalami pasang surut. Perubahan yang sangat signifikan pada saat sistem pemerintahan parlementer dengan keluarnya Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Serikat Nomor 20 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Jakarta Raya. Pasal 1 dan 2 undang-undang tersebut menjelaskan bahwa bentuk pemerintahannya adalah Pemerintahan Kotapraja yang dipimpin oleh seorang walikota. Di dalam peraturan tersebut telah termaktub makna bahwa terdapat makna otonomi dengan diberikannya kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Seperti dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) berbunyi :
   “…Pemerintahan Kota Jakarta, sebagai satuan pemerintahan, yang lingkungannya ditetapkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat No.125 tahun 1950, dijalankan atas nama Pemerintah Republik Indonesia Serikat oleh seorang Walikota.”

            Pasal 2 menyebutkan :
            “…Pemerintahan Kotapraja Jakarta, sebagai satuan kenegaraan yang mengurus rumah tangganya sendiri, yang daerahnya ditetapkan baru menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat No. 125 Tahun 1950 disebut Kotapraja Jakarta Raya, dijalankan menurut aturan-aturan termaktub dalam pasal-pasal berikut ini.”

Perubahan kembali terjadi pada tahun 1960 dimana status Kota Jakarta menjadi daerah Tingkat I yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1961 Jo Undang-Undang Nomor 2 PNPS Tahun 1961 lebih menegaskan lagi bahwa status Kota Jakarta  diubah dari Daerah Tingkat I menjadi daerah Khusus yang tetap dipimpin oleh seorang Gubernur. Setelah itu terdapat beberapa peraturan lain yang mengatur tentang kekhususan yang dimiliki oleh Jakarta antara lain :
-       Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964 yang dikeluarkan tanggal 31 Agustus 1964. Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa Daerah Khusus Ibukota Jakarta tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta;
-       Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 2 PNPS Tahun 1961 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964;
-       Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintah Provinsi daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Pada peraturan ini mulai dijelaskan secara tegas bahwa otonomi yang dimiliki oleh Jakarta berada pada pemerintah provinsi, sehingga kabupaten atau kota yang ada di dalamnya hanya bersifat administrasi;
-       Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi  Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Otonomi khusus menjadi sebuah ketidaksimetrisan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia yang berdasarkan asas desentralisasi dengan prinsip otonomi. Jakarta yang mendapatkan kekhususan sebagai Daerah Khusus Ibukota berbeda dengan daerah khusus lain seperti otonomi khusus yang dimiliki oleh Provinsi Aceh, Provinsi DI Yogyakarta, dan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Ke-empat daerah tersebut diberikan status otonomi khusus dengan berbagai pertimbangan atau faktor-faktor tertentu. Faktor politik menjadi penyebab diberikannya status otonomi khusus di Provinsi Aceh, Papua, dan Papua Barat, sedangkan Provinsi DI Yogyakarta mendapatkan status otonomi khusus karena lekat dengan faktor historis dan budaya yang dimiliki, serta Provinsi DKI Jakarta yang mendapatkan status otonomi khusus dikarenakan faktor manajemen kota dan posisi sebagai ibukota negara.


Kemelut Struktur Pemerintahan DKI Jakarta
            Konstitusi tertinggi, UUD 1945 secara jelas mengungkapkan bahwa negara menghargai kekhususan yang dimiliki oleh masing-masing pemerintahan daerah[1]. Tidak terlepas dengan Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta juga mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Dimulai  dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 yang direvisi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 menjelaskan bahwa kekhususan Kota Jakarta terletak pada posisi ganda yang melekat padanya. Kota Jakarta di satu sisi mempunyai posisi sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, di sisi lain Kota Jakarta juga sebagai daerah otonom yang otonominya hanya berada pada tingkat provinsi saja, sehingga dapat disimpulkan bahwa Kabupaten/Kota yang ada di dalamnya bersifat administratif.
            Di Indonesia sendiri, hanya Provinsi DKI Jakarta lah satu-satunya provinsi yang mempunyai kabupaten/kota admnistrasi karena otonominya berada di tingkatan pemerintah provinsi. Konsekwensi dari status tersebut bahwa pemilihan kepala  daerah juga hanya dilakukan untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, sedangkan untuk walikota/bupati dan wakilnya ditunjuk oleh gubernur dengan persetujuan DPRD Provinsi. Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang terpilih juga tidak terlepas menjalankan peran ganda dalam kekhususan Kota Jakarta sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Gubernur dan Wakil Gubernur dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala  daerah otonom berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merefleksikan pemberian kewenangan untuk dapat mengurus pemerintahannya sendiri. Makna tersebut bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur menjalankan fungsi desentralisasi. Namun disisi lain Gubernur dan Wakil Gubernur menjalankan tugas sebagai wakil pemerintah yang berhubungan dengan status khusus ibukota dengan memegang Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 sebagai kerangka kerja, yang dalam hal ini berarti Gubernur dan Wakil Gubernur menjalankan fungsi dekonsentrasi. Pelaksanaan tugas pada masing-masing landasan hukum itu menempatkan Gubernur dan Wakil Gubernur seperti di persimpangan jalan. Perbedaan terlihat dimana dengan otonomi biasa seperti pada daerah otonom lainnya, kepala daerah otonom berhak mengurus sendiri urusan rumah tangga pemerintahannya. Undang-undang khusus yang dimiliki Kota Jakarta justru mengkerdilkan wewenang kepala daerah sebagai daerah otonom[2]. Wewenang dalam konteks otonomi memang bukan suatu yang yang bersifat bebas namun tetap dalam koridor mampu dipertanggungjawabkan.
            Kabupaten/Kota administratif merupakan sebuah hasil konstruksi atau konsekwensi dari status otonomi tunggal yang dimiliki Kota Jakarta. Perbedaan masalah jelas ada dalam kedua landasan hukum pemerintahan DKI Jakarta. Daerah otonom dengan fondasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mempunyai 2 (dua) peletakan otonomi yaitu pada tingkat pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Perdebatan akan muncul dalam kerangka mempertanyakan wilayah antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang sama-sama memiliki status otonomi. Kabupaten/kota dapat dijelaskan memiliki satuan kerja perangkat daerah yang diantaranya adalah kecamatan dan kelurahan. Namun apabila kita melihat struktur perangkat daerah yang dimiliki oleh pemerintah provinsi yang diantaranya adalah kabupaten dan kota, maka muncul pertanyaan kabupaten dan kota yang seperti apa mengingat kabupaten dan kota masing-masing telah memiliki otonomi sendiri. Otonomi tunggal DKI Jakarta akan berbenturan jika disejajarkan dengan prinsip-prinsip Good Governance[3]. Efektifitas dan efisiensi birokrasi salah satu contoh masalahnya. Keberadaan kabupaten/kota yang bersifat administratif justru menambah panjang jalur kordinasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang dimulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota yang merupakan bagian satuan kerja dari perangkat daerah tingkat provinsi. Upaya perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik sulit untuk diwujudkan apabila prinsip-prinsip yang digunakan pun ditabrak. Sebagaimana telah dijelaskan seperti efektif dan efisien yang tidak memenuhi harapan dengan panjangnya koordinasi yang dimiliki, serta adanya desentralisasi setengah hati dengan adanya otonomi khusus yang diberikan.
            Jabatan khusus terkait dengan otonomi istimewa terlihat dari adanya Deputi Gubernur. Posisi deputi gubernur dalam struktur pemerintahan DKI Jakarta bukan bagian yang terintegrasi dari satuan kerja pemerintah provinsi, Deputi gubernur diangkat oleh presiden atas usul gubernur untuk membantu gubernur dalam tugas khusus yang dimiliki dalam konteks kekhususan sebagai daerah khusus ibukota[4]. Esensi tugas khusus yang digunakan sebagai konsep pembentukan jabatan deputi masih terkesan tumpang tindih. Deputi gubernur menjadi “kebingungan” terkait tugas khusus yang diemban dalam membantu gubernur yang berposisi sebagai wakil pemerintah berkaitan dengan fungsinya sebagai daerah khusus ibukota negara dan sebagai kepala daerah berkaitan dengan fungsi kepala daerah. Dalam posisinya sebagai kepala daerah, gubernur memiliki sekretariat yang tugasnya membantu gubernur dalam kerangka Kota Jakarta sebagai daerah otonom. Tidak ada peraturan yang membagi tugas antara deputi sebagai wakil pemerintah dan sekretariat dalam fungsinya daerah otonom. Deputi gubernur masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan koordinasi karena belum ada kewenangan yang jelas diberikan oleh deputi dan belum ada pemisahan yang jelas antara tugas “bagian” deputi dan “bagian” sekretariat. Realita yang ada di lapangan mengungkapkan bahwa walaupun telah diatur lebih lanjut keberadaan deputi gubernur melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2008, masih terkesan hanya sebagai penasihat gubernur dan membantu gubernur dalam berbagai kegiatan yang mempunyai sifat protokoler[5].
            Struktur pemerintahan di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang mempunyai ciri khas tersendiri, seperti halnya dengan provinsi lain yang memiliki kekhususan dengan peraturan perundangan yang mengaturnya. Kemelut yang menjebak Kota Jakarta justru dapat dikatakan berasal dari kekhususan yang dimilikinya. Prinsip desentralisasi yang dijalankan di Kota Jakarta berubah menjadi “Desentralisasi Setengah Hati”. Kekhususan dengan diberikannya otonomi khusus kepada Kota Jakarta seharusnya mampu menjadikan aktor-aktor pemerintahannya dapat menjalankan tugas dengan lebih efektif dan efisien.

Kewenangan Daerah Khusus Ibukota yang Masih Kabur
Kewenangan dan jenis urusan pemerintahan di Provinsi DKI Jakarta dilaksanakan menurut asas otonomi, asas dekonsentrasi, asas tugas pembantuan dan kekhususan sebagai Ibukota Negara. Sebagai daerah otonom, kewenangan Provinsi DKI Jakarta mencakup seluruh urusan pemerintahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, kecuali yang ditetapkan sebagai urusan Pemerintah[6]. Namun sebagai salah satu ciri inti kekhususan Jakkarta, sehubungan letak otonominya hanya berada di level provinsi yang berakibat hilangnya Kabupaten/Kota otonom di Jakarta maka semua kewenangan atas urusan-urusan yang layaknya dimiliki lingkup Kabupaten/Kota pada praktik umum di daerah-daerah lain diselenggarakan sekaligus oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Sebagaimana halnya pada provinsi-provinsi lain, Pemerintah DKI Jakarta juga menyelenggarakan urusan pemerintahan yang ditugaskan Pusat dalam rangka asas tugas pembantuan maupun urusan-urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah dalam rangka asas dekonsentrasi. Tetapi, berbeda dari daerah-daerah otonomi biasa, DKI Jakarta juga menyelenggarakan sejumlah urusan yang diklasifikasi UU Nomor 29 Tahun 2007 sebagai urusan dalam kerangka kewenangan khusus DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara, kewenangan tersebut terdapat pada Pasal 26 ayat (4) UU 29 Tahun 2007 meliputi Penetapan dan pelaksanaan Kebijakan dalam bidang :
a.    Tata ruang, SDA, Lingkungan Hidup
b.    Pengendalian Penduduk dan Pemukiman
c.    Transportasi
d.    Pariwisata
e.    Industri dan Perdagangan

Dalam konteks sebagai suatu daerah khusus, Provinsi DKI Jakarta sejatinya belum memiliki esensi kewenangan khusus yang signifikan. Memang telah ditetapkan beberapa kewenangan sebagaimana telah disebut sebelumnya, tetapi semua kewenangan itu sesungguhnya tidak khas dimiliki DKI Jakarta karena terdapat juga di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota lainnya sehingga semua urusan pemerintahan baik urusan wajib maupun pilihan tidak bisa dibedakan dengan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah otonom lain[7]. Ketidakjelasan kewenangan khusus tersebut secara substantif berarti cenderung menempatkan Jakarta sebagai daerah otonom biasa dimana kekhususan Jakarta tidak lebih sebagai wujud penyelenggaraan asas dekoknsentrasi yang dilimpahkan Pemerintah. Himpitan antara fungsi kekhususan dan pelaksanaan asas dekonsentrasi tersebut menyebabkan kekhususan Jakarta sulit dikategorikan sebagai implementasi suatu otonomi khusus.

Terkait permasalahan di atas, di lapangan juga muncul masalah faktual misalnya, terlihat pada koordinasi lintas bidang antara Pemerintah dengan Provinsi DKI Jakarta, antara DKI dengan daerah-daerah di sekitarnya, maupun di dalam internal pemerintahan DKI Jakarta sendiri dikarenakan ketidakjelasan pembagian tugas antara perangkat daerah khusus dengan perangkat daerah otonom. Andy Ramses mengatakan bahwa sebagaian besar persoalan yang dihadapi Provinsi DKI Jakarta dalam penyelenggaraaan pemerintahan saat ini bersumber dari masalah kordinasi dan ketidakjelasan kewenangan khusus tersebut[8].

Mengutip Laporan Hasil Kajian Pengembangan Ibu Kota yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Tata Ruang Kementerian Pekerjaan Umum[9], bahwa peran suatu daerah sebagai Ibukota setidaknya mencakup aspek-aspek berikut :
1.    Peran Ibukota sebagai pusat pemerintahan, seperti terlihat dari kelembagaan (keberadaan badan-badan kenegaraan, alat-alat perlengkapan negara yang berkuasa), keandalan sistem transportasi guna mendukung penyelenggaraan pemerintahan dalam hal kegiatan protokoler kepresidenan atau perjalanan diplomatik, ketersediaan lahan sebagai lokasi Ibukota sesuai dengan rencana tata ruang dan meru pakan lahan publik.
2.    Peran Ibukota dari aspek kekuatan politik, di mana Ibukota menjadi pusat dinamika politik nasional lantaran keberadaan pusat pemerintahan dan organisasi politik yang berperan penting dalam proses pelaksanaan sistem pemerintahan.
3.    Peran Ibukota sebagai pusat perwakilan asing, di mana Ibukota jadi lokasi organisasi internasional dan kedudukan keduataan/konsulat negara-negara lain.
4.    Peran Ibukota sebagai simbol identitas nasional, di mana Ibukota menjadi simbol  pemersatu yang  memerlukan kapasitas pengelolaan  keragaman  latar  sosial.
5.    Dalam posisi rangkap sebagai pusat bisnis, peran Ibukota juga terkait aspek ekonomi yang  memiliki  skala  pelayanan  nasional  dan  segala kegiatan bisnis (pusat perbankan, perkantoran, dst.) yang mampu mendukung roda perekonomian nasional.
6.    Peran Ibukota dari aspek Hankam. Fungsi stratejik ini terkait strategi militer yang melihat Ibukota sebagai target utama penyerangan atas suatu Negara. Sementara dari sisi keamanan, Ibukota kerap dilihat sebagai barometer keamanan nasional.

Jika melihat substansi dari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 sebagai payung hukum otonomi khusus Jakarta, Undang-undang ini belum mengakomodir ruang pengaturan yang memadai atas peran ke-ibukota-an tersebut. Sehingga aspek-aspek dari peran ke-ibukota-an di atas seolah berjalan tanpa didasari landasan hukum sebagai bentuk kebijakan penyerahan kepada Jakarta. Padahal Ramses Mapaung mengemukakan bahwa : “status kekhususan Jakarta Lahir dalam konteks alasan khusus sebagai Ibukota, dan kewenangan khusus merupakan manifestasi alasan khusus tersebut dalam pemerintahan. Lebih lanjut, kewenangan khusus lalu menjadi dasar pembentukan kelembagaan khusus, pendanaan khusus, dan segala elemen-elemen lain yang juga bersifat khusus[10]. Tidak jelasnya materi kewenangan khusus sebagai Ibukota tersebut  berimplikasi pada ketidakjelasan pula pengaturan elemen-elemen penting lain dalam  penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus, seperti elemen kelembagaan dan keuangan.

Dalam dalam hal penyusunan urusan dan kewenangan khusus DKI Jakarta mestinya peran/fungsi diatas menjadi esensi dari materi urusan Jakarta yang diperoleh karena kekhususannya sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Sebagian dari peran/fungsi ibukota di atas jelas merupakan urusan pemerintah pusat, namun dalam kerangka desentralisasi asimetris maka kepada Jakarta perlu diserahkan kewenangan pengaturan dan pengurusannya sebagai bagian dari urusan khusus pemerintahan Ibukota. Misalnya urusan keamanan, sejatinya memang urusan keamanan merupakan kewenangan pemerintah pusat yang tidak didelegasikan kepada daerah, namun jika melihat kedudukan Jakarta yang memiliki kekhususan sebagai Ibukota Negara maka bukan sesuatu yang tidak mungkin kewenangan tersebut juga dapat diberikan kepada Pemerintah DKI Jakarta. Hal ini juga dibutuhkan karena melihat peran Ibukota sebagai pusat perwakilan asing, di mana Ibukota menjadi lokasi organisasi internasional dan kedudukan keduataan/konsulat negara-negara lain yang membutuhkan keamanan dan perlindungan dari segala ancaman yang dapat mengganggu stabilitas hubungan dengan negara-negara luar (politik luar negeri).

Kewenangan yang dimiliki oleh Kabupaten/Kota yang bersifat administratif hanya sebagai pelaksana tugas pemerintahan daerah[11]. Dengan demikian bahwa perangkat daerah yang dimiliki pun juga hanya membantu dalam pelaksanaan teknis. Tugas khusus yang diberikan pemerintah kepada Kota Jakarta yang berfungsi sebagai Ibukota Negara dengan meletakkan konstruksi otonomi di provinsi belum mampu merefleksikan tugas khusus yang diberikan. Status khusus sebenarnya telah jelas bahwa Kota Jakarta difungsikan sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI), bukan untuk fungsi lainnya.

Pengkajian ulang mengenai wewenang khusus apa yang sebenarnya sesuai dengan skema Ibukota Negara nampaknya perlu dilakukan. Wewenang mengenai permasalahan yang sepertinya dianggap khusus dalam undang-undang khusus Kota Jakarta masih dirasakan menemui bias. Biasnya kewenangan baik itu secara substantif ataupun secara struktur kelembagaan menjadikan hal-hal khusus tidak dapat secara fokus dijalankan[12]. Daerah Khusus Ibukota sejatinya tetap berkomitmen untuk menjadi daerah khusus ibukota dengan tidak mengembangkan sayap dengan menjalankan kewenangan menjadikan Kota Jakarta sebagai daerah khusus di bidang lain dengan memonopoli berbagai bidang seperti  bidang industri  dan perdagangan seperti dijelaskan dalam tugas khusus yang dijelaskan dalam undang-undang khusus yang mengaturnya.

Wewenang Provinsi Jakarta dalam menjalani tugas khusus juga nampak kurang dapat berjalan dengan baik seperti dalam bidang transportasi. Sistem transportasi menjadi masalah pelik yang tidak kunjung dapat terselesaikan. Kemacetan parah terjadi di berbagai ruas jalan kota jakarta. Transportasi massal yang digunakan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk mengurai kemacetan tidak berjalan efektif. Keberadaan Deputi Gubernur yang membidangi  masalah transportasi pun tidak dapat berbuat banyak. masih terkesan sebagai penasihat gubernur dapat dikatakan sesuai jika hal demikian yang terjadi karena lemahnya posisi deputi gubernur sebagai jabatan khusus di daerah khusus ibukota. Masih lemahnya pembagian sistem koordinasi antara wewenang dengan konstruksi daerah khusus dan wewenang dengan konstruksi daerah otonom menjadi serangan balik terhadap jalannya roda pemerintahan yang tidak dapat menyelesaikan masalah. Senada dengan hal tersebut, sistem koordinasi antara Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan daerah sekitar seperti Jawa Barat dan Banten dalam menangani berbagai masalah masih menemui kendala. Status khusus yang dimiliki DKI Jakarta belum mampu menunjukkan taring. Masalah masih terus bergulir seraya niscaya bahwa solusi akan masalah yang ada tersebut menemui jalan keluar.

Potret Ibukota 
Mengutip pendapat Maksum bahwa selain berbasis kedudukan sebagai Ibukota Negara (alasan formal), status kekhususan Jakarta juga tak lepas dari dinamika aktual perkembangan kota (Jakarta) yang telah mencapai taraf perkembangan sebagai metropolitan, bahkan megapolitan. Lebih jauh lagi, bagi Maksum, alasan ini lebih penting bahwa seyogyanya makna kekhususan bukanlah karena Ibukota melainkan perkembangan kawasan perkotaan sendiri.[13] Seiring berjalannya waktu basis kekhususan DKI Jakarta sebagai Ibukota tidak lagi dapat menjawab tantangan dari kompleksitas permasalahan yang timbul di Jakarta seperti masalah ekonomi, sosial dan politik yang semakin dinamis. Penetapan Kota Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota juga berimplikasi pada posisi rangkap sebagai pusat bisnis dan perdagangan yang  memiliki  skala  pelayanan  nasional  dan  segala kegiatan bisnis yang mampu mendukung roda perekonomian nasional, sehingga berbagai investor sangat berminat untuk menanamkan modalnya di kota ini. Perputaran uang di Indonesia pun telah tercatat 70% dikuasai oleh Jakarta sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Umum Kadin, Suryo Bambang Sulisto[14]. Oleh karena itu tidak mengherankan jika angka urbanisasi terus menunjukkan angka yang tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan angka yang luar biasa, analisis yang dilakukan mulai dari tahun 2000 sampai pada perkiraan tahun 2025 menunjukkan Kota Jakarta mempunyai persentasi yang masih diatas rata-rata persentase nasional bahkan menunjukkan angka 100%. Angka tersebut memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap peningkatan angka urbanisasi daerah sekitar sepertio  Jawa Barat dan Banten yang diproyeksikan sampai pada tahun 2025 menyentuh angka di atas 80% sebagaimana terlihat dalam tabel berikut[15] :

Provinsi
2000
2005
2010
2015
2020
2025
1
2
3
4
5
6
7
Jawa Barat
50,3
58,8
66,2
72,4
77,4
81,4
DKI Jakarta
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
Banten
52,2
60,2
67,2
73,0
77,7
81,5

Bukan hal itu saja, jika dilihat dari kemampuan finansial provinsi DKI Jakarta memiliki kemampuan finansial yang dapat dikatakan “lebih” dibandingkan dengan Provinsi lainnya, hal ini dapat dilihat dari struktur pendapatan yang didominasi oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) berbeda dengan daerah lainnya yang biasanya tergantung pada dana transfer dari Pusat baik itu berupa DAU, DBH maupun DAK[16]. Hal ini menunjukan kemandirian fiskal Provinsi DKI yang sudah mumpuni sehingga mereka lebih leluasa dalam proses pelaksanaan perencanaan dan penganggaran setiap tahunnya. Namun sangat disayangkan, kemandirian fiskal tersebut tidak diimbangi dengan pemerataan dan peningkgatan kesejahteraan di Provinsi DKI Jakarta. Hal ini dapat dlihat dari perkembangan jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta yang meningkat, pada Tahun 2013 jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta sebanyak 375,70 ribu orang (3,72 persen) dibandingkan dengan Tahun 2012 dengan jumlah penduduk miskin sebesar 366,77 ribu orang (3,70 persen), jumlah penduduk miskin meningkat 8,93 ribu atau meningkat 0,02 poin dari tahun sebelumnya. Kemandirian fiskal yang begitu mumpuni seharusnya dapat menjawab isu dan permasalahan kemiskininan dan pemerataan kesejahteraan.

Gagasan Rekonstruksi Otonomi Khusus DKI Jakarta
            Ada beberapa hal yang layak untuk kita lakukan dalam rangka mengoptimalkan jalannya otonomi khusus di DKI Jakarta. Yang Pertama, Pemerintah perlu melakukan pengkajian ulang terkait esensi kekhususan dari materi kewenangan dan urusan yang diemban oleh Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara. Sehingga Provinsi DKI Jakarta mempunyai kewenangan yang jelas untuk melaksanakan mana yang menjadi kewenangan khusus dan mana yang menjadi kewenangan sebagai daerah otonom. Implikasinya struktur pemerintah yang menjalankan roda pemerintah juga diharapkan mempunyai susunan yang lebih signifikan dan mampu menciptakan susunan pemerintah yang handal.
            Kedua, Alternatif dengan tetap memberikan kekhususan sebagai daerah khusus ibukota namun tetap bersifat otonomi penuh nampaknya menjadi solusi yang dapat dijadikan pilihan. Otonomi penuh akan lebih membuat struktur pemerintah menjadi lebih tegas di jalur mana koridor pemerintahan berjalan. Letak otonomi yang masih berada di tingkat provinsi dengan kabupaten/kota bersifat administrasi hanya dilakukan pengkajian mengenai restrukturisasi koordinasi mulai dari kelurahan hingga pada tingkat provinsi. Pemangkasan jalur koorinasi menjadi salah satu cara yang dapat dilakukan dengan meniadakan salah satu satuan kerja antara kecamatan dan kelurahan sehingga koordinasi pelaksanaan tugas pemerintahan dapat lebih efektif dan efisien.
Ketiga, Reposisi Gubernur tetap harus dilakukan dengan lebih menekankan pada pelaksanaan otonomi penuh. Gubernur saat ini hanya merupakan bentuk “sentralisasi halus” dari pemerintah yang masih campur tangan dalam urusan pemerintahan jakarta sebagai daerah otonom. Posisi gubernur dapat dinaikkan menjadi pejabat setingkat menteri yang tidak hanya  secara simbolis seperti berhak atas protokoler dan mendampingi presiden, tetapi lebih jauh kepada kewenangan yang dimiliki dan bertanggung jawab langsung kepada presiden[17]. Otonomi penuh yang tidak menghilangkan kekhususan dapat juga disertai dengan masih adanya jabatan khusus Deputi Gubernur yang memberikan analisis terhadap masalah-masalah khusus yang disertakan sesuai dengan kekhususan yang telah ditetapkan. Jabatan khusus deputi gubernur tetap dapat melakukan koordinasi sehubungan dengan analisis yang dibuat untuk mendukung perumusan kebijakan yang akan diambil gubernur dalam tugas khusus tersebut sehingga tidak terjadi tumpah tindih dengan bagian sekretariat yang juga melaksanakan tugas koordinasi di luar tugas khusus yang telah ditetapkan.
Keempat, Kewenangan yang disertakan dalam tugas khusus sebagai ibukota harus lebih substansif mengatur apa yang memang menjadi kepentingan ibukota. tugas khusus yang telah dijabarkan dalam Pasal  26 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 masoih bersifat umum sehingga belum nampak jelas perbedaan dengan urusan pemerintahan daerah otonom lain. Jikapun memang  hal-hal tersebut menjadi masalah krusial dalam statusnya Jakarta sebagai ibukota negara, penekanan terhadap pelaksanaan teknis kegiatan khusus perlu dilakukan seperti dalam penjabaran tupoksi organisasi perangkat daerah khusus ibukota pada masing-masing bidang.




[1] Lihat : Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945
[2] Lihat : Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 pada Bab V tentang Kewenangan dan Urusan Pemerintah Provinsi
[3] Terdapat 14 Prinsip Good Governance yang dikemukakan oleh UNDP yaitu Wawasan ke depan, keterbukaan dan transparansi, partisipasi masyarakat, tanggung jawab, supremasi hukum, demokrasi, profesionalisme dan kompetensi, daya tanggap, keefisienan dan efektifitas, desentralisasi, kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat, komitmen pada lingkungan hidup, komitmen pasar yang fair.
[4] Lihat : Pasal 14 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007
[5] Jaweng, Robertus Na endi. 2012. Analisis Kewenangan Khusus Jakarta Sebagai Ibukota Negara Dalam Konteks Desentralisasi Di Indonesia. Jakarta : Program Pasca Sarjana Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (Hal. 78-79)
[6] Lihat : UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 15 Ayat (4) urusan pemerintahan yang dikecualikan dari usuran daerah meliputi : urusan politik lura negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama, serta bagian-bagian dari urusan pemerintahan lain yang menjadi urusan Pemerintah Pusat
[7] http://muhadamlabolo.blogspot.com/2014/02/prospek-desentralisasi-asimetrik.html, Diakses tanggal 3 April 2014.
[8] Andy Ramses, “Otonomi Khusus Provinsi DKI Jakarta“ dalam Andy Ramses dan La Bakry (Ed.), ”Pemerintahan Daerah di Indonesia”, Jakarta: Pemprov DKI Jakarta dan MIPI, 2009, hlm.99.
[9] Tim Kajian Ditjen Penataan Ruang Kementerian PU, “Studi Pengembangan Ibu Kota Negara”, 2009.
[10] Andy Ramses Marpaung dalam Jaweng “Rekonstruksi Kekhususan Jakarta”, dimuat dalam Analisis CSIS, Vol.41, No.2 Ed. Juni 2012, Hlm 272.
[11] Lihat : Peraturan daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor  10 Tahun 2008 Pasal 134-139
[12] Dalam hal ikhwal kekhususannya sebagai ibukota sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Noor 29 Tahun 2007, Kota Jakarta seharusnya memenui beberapa aspek yang berikatan dengan hasil kajian Kementerian Pekerjaan Umum tentang Kajian Pengembangan Ibukota, namun bukan berarti dalam pelaksanaannya memonopoli berbagai  aspek terlebih lagi  monopoli kegiatan ekonomi yang terfokus di Kota Jakarta.
[13] Irfan Ridwan Maksum, “Mengelola Megapolitan Jakarta: Quo Vadis?”, Jurnal MAKARA, Vol.13 No.1, Juli 2009, hlm 13-14.
[14] http://detik.com/finance/read/2013/02/27/134141/2181083/4/ “Jakarta Kuasai 70% Perputaran Uang, Sayangnya Kesenjangan Tinggi” Diakases tanggal 4 April 2014
[15] Berdasarka data statistik indonesia tentang proyeksi pennduduk 2000-2025 (www.statistik-indonesia.com) diakses tanggal 3 April  2014.
[16] Tahun 2012 PAD DKI Jakarta Sebesar 30,6 Truliun, DAU sebesar 209 M, dan DBH sebesar 8 Triliun.
[17] Konsep tersebut pernah digunakan pada saat masih berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dengan Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 1963 bahwa disebutkan Kedudukan kepala Daerah DKI Jakarta adalah setingkat menetri dan bertanggung jawab langsng kepada presiden.

0 komentar:

Posting Komentar