KRITIK
OTONOMI KHUSUS PROVINSI DKI JAKARTA
Oleh:
Singgih
Usman Fuadi, S.IP
dan
Nurhakim
Ramdani F, S.IP
SEJARAH OTSUS DKI JAKARTA
Jakarta mempunyai sejarah panjang
bagaimana kota ini mampu menjadi ibu kota negara dan dapat dikatakan sebagai “icon” Indonesia. Lekat pengetahuan akan
adanya sejarah yang terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 dimana waktu itu armada
asing berhasil dikalahkan oleh pasukan Fatahillah, atau yang lebih dikenal
dengan nama Sunda Kelapa yang berubah nama menjadi Jayakarta dan baru menjadi nama
Jakarta seperti yang telah kita ketahui saat ini. Nama Jakarta sendiri didapat
setelah masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Waktu itu Jakarta dikenal
dengan nama Batavia yang merupakan pusat pemerintahan bangsa Belanda. Pada
tahun 1945 Kota Jakarta juga mempunyai sejarah sebagai tempat diproklamasikan
kemerdekaan Negara Republik Indonesia, sehingga Jakarta disebut sebagai kota
khusus karena sejarahnya tersebut.
Status sebagai Ibu Kota Negara pun
mengalami pasang surut. Perubahan yang sangat signifikan pada saat sistem
pemerintahan parlementer dengan keluarnya Undang-Undang Darurat Republik
Indonesia Serikat Nomor 20 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Jakarta Raya. Pasal
1 dan 2 undang-undang tersebut menjelaskan bahwa bentuk pemerintahannya adalah
Pemerintahan Kotapraja yang dipimpin oleh seorang walikota. Di dalam peraturan
tersebut telah termaktub makna bahwa terdapat makna otonomi dengan diberikannya
kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Seperti dijelaskan dalam
Pasal 1 ayat (1) berbunyi :
“…Pemerintahan Kota Jakarta, sebagai satuan
pemerintahan, yang lingkungannya ditetapkan dalam Keputusan Presiden Republik
Indonesia Serikat No.125 tahun 1950, dijalankan atas nama Pemerintah Republik
Indonesia Serikat oleh seorang Walikota.”
Pasal 2 menyebutkan :
“…Pemerintahan Kotapraja Jakarta,
sebagai satuan kenegaraan yang mengurus rumah tangganya sendiri, yang daerahnya
ditetapkan baru menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat No. 125
Tahun 1950 disebut Kotapraja Jakarta Raya, dijalankan menurut aturan-aturan
termaktub dalam pasal-pasal berikut ini.”
Perubahan kembali terjadi pada tahun
1960 dimana status Kota Jakarta menjadi daerah Tingkat I yang dipimpin oleh
seorang Gubernur. Munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1961 Jo Undang-Undang
Nomor 2 PNPS Tahun 1961 lebih menegaskan lagi bahwa status Kota Jakarta diubah dari Daerah Tingkat I menjadi daerah
Khusus yang tetap dipimpin oleh seorang Gubernur. Setelah itu terdapat beberapa
peraturan lain yang mengatur tentang kekhususan yang dimiliki oleh Jakarta
antara lain :
- Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1964 yang dikeluarkan tanggal 31 Agustus 1964. Undang-undang
tersebut menjelaskan bahwa Daerah Khusus Ibukota Jakarta tetap sebagai Ibukota
Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta;
- Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Negara
Republik Indonesia Jakarta sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 2 PNPS
Tahun 1961 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964;
- Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintah Provinsi daerah Khusus Ibukota Negara
Republik Indonesia Jakarta. Pada peraturan ini mulai dijelaskan secara tegas
bahwa otonomi yang dimiliki oleh Jakarta berada pada pemerintah provinsi,
sehingga kabupaten atau kota yang ada di dalamnya hanya bersifat administrasi;
- Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi khusus menjadi sebuah ketidaksimetrisan
pelaksanaan pemerintahan di Indonesia yang berdasarkan asas desentralisasi
dengan prinsip otonomi. Jakarta yang mendapatkan kekhususan sebagai Daerah
Khusus Ibukota berbeda dengan daerah khusus lain seperti otonomi khusus yang
dimiliki oleh Provinsi Aceh, Provinsi DI Yogyakarta, dan Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat. Ke-empat daerah tersebut diberikan status otonomi khusus
dengan berbagai pertimbangan atau faktor-faktor tertentu. Faktor politik
menjadi penyebab diberikannya status otonomi khusus di Provinsi Aceh, Papua, dan
Papua Barat, sedangkan Provinsi DI Yogyakarta mendapatkan status otonomi khusus
karena lekat dengan faktor historis dan
budaya yang dimiliki, serta Provinsi DKI Jakarta yang
mendapatkan status otonomi khusus dikarenakan faktor manajemen kota dan posisi
sebagai ibukota negara.
Kemelut Struktur
Pemerintahan DKI Jakarta
Konstitusi
tertinggi, UUD 1945 secara jelas mengungkapkan bahwa negara menghargai
kekhususan yang dimiliki oleh masing-masing pemerintahan daerah[1].
Tidak terlepas dengan Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta juga mempunyai
kekhususan yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Dimulai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun
1999 yang direvisi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007
menjelaskan bahwa kekhususan Kota Jakarta terletak pada posisi ganda yang melekat
padanya. Kota Jakarta di satu sisi mempunyai posisi sebagai Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia, di sisi lain Kota Jakarta juga sebagai daerah
otonom yang otonominya hanya berada pada tingkat provinsi saja, sehingga dapat
disimpulkan bahwa Kabupaten/Kota yang ada di dalamnya bersifat administratif.
Di
Indonesia sendiri, hanya Provinsi DKI Jakarta lah satu-satunya provinsi yang
mempunyai kabupaten/kota admnistrasi karena otonominya berada di tingkatan
pemerintah provinsi. Konsekwensi dari status tersebut bahwa pemilihan kepala daerah juga hanya dilakukan untuk memilih
Gubernur dan Wakil Gubernur, sedangkan untuk walikota/bupati dan wakilnya
ditunjuk oleh gubernur dengan persetujuan DPRD Provinsi. Gubernur dan Wakil
Gubernur DKI Jakarta yang terpilih juga tidak terlepas menjalankan peran ganda
dalam kekhususan Kota Jakarta sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Gubernur
dan Wakil Gubernur dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala daerah otonom berlandaskan pada Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 yang merefleksikan pemberian kewenangan untuk dapat
mengurus pemerintahannya sendiri. Makna tersebut bahwa Gubernur dan Wakil
Gubernur menjalankan fungsi desentralisasi. Namun disisi lain Gubernur dan
Wakil Gubernur menjalankan tugas sebagai wakil pemerintah yang berhubungan
dengan status khusus ibukota dengan memegang Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007
sebagai kerangka kerja, yang dalam hal ini berarti Gubernur dan Wakil Gubernur
menjalankan fungsi dekonsentrasi. Pelaksanaan tugas pada masing-masing landasan
hukum itu menempatkan Gubernur dan Wakil Gubernur seperti di persimpangan
jalan. Perbedaan terlihat dimana dengan otonomi biasa seperti pada daerah
otonom lainnya, kepala daerah otonom berhak mengurus sendiri urusan rumah
tangga pemerintahannya. Undang-undang khusus yang dimiliki Kota Jakarta justru
mengkerdilkan wewenang kepala daerah sebagai daerah otonom[2].
Wewenang dalam konteks otonomi memang bukan suatu yang yang bersifat bebas
namun tetap dalam koridor mampu dipertanggungjawabkan.
Kabupaten/Kota
administratif merupakan sebuah hasil konstruksi atau konsekwensi dari status
otonomi tunggal yang dimiliki Kota Jakarta. Perbedaan masalah jelas ada dalam
kedua landasan hukum pemerintahan DKI Jakarta. Daerah otonom dengan fondasi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mempunyai 2 (dua) peletakan otonomi yaitu
pada tingkat pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Perdebatan akan
muncul dalam kerangka mempertanyakan wilayah antara pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota yang sama-sama memiliki status otonomi.
Kabupaten/kota dapat dijelaskan memiliki satuan kerja perangkat daerah yang
diantaranya adalah kecamatan dan kelurahan. Namun apabila kita melihat struktur
perangkat daerah yang dimiliki oleh pemerintah provinsi yang diantaranya adalah
kabupaten dan kota, maka muncul pertanyaan kabupaten dan kota yang seperti apa
mengingat kabupaten dan kota masing-masing telah memiliki otonomi sendiri.
Otonomi tunggal DKI Jakarta akan berbenturan jika disejajarkan dengan
prinsip-prinsip Good Governance[3].
Efektifitas dan efisiensi birokrasi salah satu contoh masalahnya. Keberadaan
kabupaten/kota yang bersifat administratif justru menambah panjang jalur
kordinasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang dimulai dari tingkat kelurahan,
kecamatan, kabupaten/kota yang merupakan bagian satuan kerja dari perangkat
daerah tingkat provinsi. Upaya perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik
sulit untuk diwujudkan apabila prinsip-prinsip yang digunakan pun ditabrak.
Sebagaimana telah dijelaskan seperti efektif dan efisien yang tidak memenuhi
harapan dengan panjangnya koordinasi yang dimiliki, serta adanya desentralisasi
setengah hati dengan adanya otonomi khusus yang diberikan.
Jabatan
khusus terkait dengan otonomi istimewa terlihat dari adanya Deputi Gubernur.
Posisi deputi gubernur dalam struktur pemerintahan DKI Jakarta bukan bagian
yang terintegrasi dari satuan kerja pemerintah provinsi, Deputi gubernur
diangkat oleh presiden atas usul gubernur untuk membantu gubernur dalam tugas
khusus yang dimiliki dalam konteks kekhususan sebagai daerah khusus ibukota[4].
Esensi tugas khusus yang digunakan sebagai konsep pembentukan jabatan deputi
masih terkesan tumpang tindih. Deputi gubernur menjadi “kebingungan” terkait
tugas khusus yang diemban dalam membantu gubernur yang berposisi sebagai wakil
pemerintah berkaitan dengan fungsinya sebagai daerah khusus ibukota negara dan
sebagai kepala daerah berkaitan dengan fungsi kepala daerah. Dalam posisinya
sebagai kepala daerah, gubernur memiliki sekretariat yang tugasnya membantu
gubernur dalam kerangka Kota Jakarta sebagai daerah otonom. Tidak ada peraturan
yang membagi tugas antara deputi sebagai wakil pemerintah dan sekretariat dalam
fungsinya daerah otonom. Deputi gubernur masih mengalami kesulitan dalam
melaksanakan koordinasi karena belum ada kewenangan yang jelas diberikan oleh
deputi dan belum ada pemisahan yang jelas antara tugas “bagian” deputi dan
“bagian” sekretariat. Realita yang ada di lapangan mengungkapkan bahwa walaupun
telah diatur lebih lanjut keberadaan deputi gubernur melalui Peraturan Presiden
Nomor 55 Tahun 2008, masih terkesan hanya sebagai penasihat gubernur dan
membantu gubernur dalam berbagai kegiatan yang mempunyai sifat protokoler[5].
Struktur
pemerintahan di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang mempunyai ciri khas
tersendiri, seperti halnya dengan provinsi lain yang memiliki kekhususan dengan
peraturan perundangan yang mengaturnya. Kemelut yang menjebak Kota Jakarta
justru dapat dikatakan berasal dari kekhususan yang dimilikinya. Prinsip
desentralisasi yang dijalankan di Kota Jakarta berubah menjadi “Desentralisasi Setengah Hati”. Kekhususan
dengan diberikannya otonomi khusus kepada Kota Jakarta seharusnya mampu
menjadikan aktor-aktor pemerintahannya dapat menjalankan tugas dengan lebih
efektif dan efisien.
Kewenangan Daerah Khusus
Ibukota yang Masih Kabur
Kewenangan dan jenis urusan pemerintahan di
Provinsi DKI Jakarta dilaksanakan menurut asas otonomi, asas dekonsentrasi,
asas tugas pembantuan dan kekhususan sebagai Ibukota Negara. Sebagai daerah
otonom, kewenangan Provinsi DKI Jakarta mencakup seluruh urusan pemerintahan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dijabarkan melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, kecuali yang ditetapkan sebagai urusan
Pemerintah[6].
Namun sebagai salah satu ciri inti kekhususan Jakkarta, sehubungan letak
otonominya hanya berada di level provinsi yang berakibat hilangnya
Kabupaten/Kota otonom di Jakarta maka semua kewenangan atas urusan-urusan yang
layaknya dimiliki lingkup Kabupaten/Kota pada praktik umum di daerah-daerah
lain diselenggarakan sekaligus oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Sebagaimana halnya pada provinsi-provinsi lain,
Pemerintah DKI Jakarta juga menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
ditugaskan Pusat dalam rangka asas tugas pembantuan maupun urusan-urusan
pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah dalam
rangka asas dekonsentrasi. Tetapi, berbeda dari daerah-daerah otonomi biasa,
DKI Jakarta juga menyelenggarakan sejumlah urusan yang diklasifikasi UU Nomor
29 Tahun 2007 sebagai urusan dalam kerangka kewenangan khusus DKI Jakarta
sebagai Ibukota Negara, kewenangan tersebut terdapat pada Pasal 26 ayat (4) UU
29 Tahun 2007 meliputi Penetapan dan pelaksanaan Kebijakan dalam bidang :
a.
Tata ruang, SDA, Lingkungan Hidup
b.
Pengendalian Penduduk dan Pemukiman
c.
Transportasi
d.
Pariwisata
e.
Industri dan Perdagangan
Dalam konteks sebagai suatu daerah khusus, Provinsi
DKI Jakarta sejatinya belum memiliki esensi kewenangan khusus yang signifikan.
Memang telah ditetapkan beberapa kewenangan sebagaimana telah disebut sebelumnya,
tetapi semua kewenangan itu sesungguhnya tidak khas dimiliki DKI Jakarta karena
terdapat juga di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota lainnya sehingga semua urusan
pemerintahan baik urusan wajib maupun pilihan tidak bisa dibedakan dengan
urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah otonom lain[7].
Ketidakjelasan kewenangan khusus tersebut secara substantif berarti cenderung
menempatkan Jakarta sebagai daerah otonom biasa dimana kekhususan Jakarta tidak
lebih sebagai wujud penyelenggaraan asas dekoknsentrasi yang dilimpahkan
Pemerintah. Himpitan antara fungsi kekhususan dan pelaksanaan asas
dekonsentrasi tersebut menyebabkan kekhususan Jakarta sulit dikategorikan
sebagai implementasi suatu otonomi khusus.
Terkait
permasalahan di atas, di lapangan juga muncul masalah faktual misalnya,
terlihat pada koordinasi lintas bidang antara
Pemerintah dengan Provinsi DKI Jakarta, antara DKI dengan daerah-daerah di
sekitarnya, maupun di dalam internal pemerintahan DKI Jakarta sendiri
dikarenakan ketidakjelasan pembagian tugas antara perangkat daerah khusus
dengan perangkat daerah otonom. Andy Ramses
mengatakan bahwa sebagaian besar persoalan yang dihadapi Provinsi DKI Jakarta
dalam penyelenggaraaan pemerintahan saat ini bersumber dari masalah kordinasi
dan ketidakjelasan kewenangan khusus tersebut[8].
Mengutip
Laporan Hasil Kajian Pengembangan Ibu Kota yang dilakukan oleh Direktorat
Jendral Tata Ruang Kementerian Pekerjaan Umum[9],
bahwa peran suatu daerah sebagai Ibukota setidaknya mencakup aspek-aspek
berikut :
1. Peran Ibukota sebagai pusat
pemerintahan, seperti terlihat dari kelembagaan (keberadaan badan-badan
kenegaraan, alat-alat perlengkapan negara yang berkuasa), keandalan sistem
transportasi guna mendukung penyelenggaraan pemerintahan dalam hal kegiatan
protokoler kepresidenan atau perjalanan diplomatik, ketersediaan lahan sebagai
lokasi Ibukota sesuai dengan rencana tata ruang dan meru pakan lahan publik.
2. Peran Ibukota dari aspek kekuatan
politik, di mana Ibukota menjadi pusat dinamika politik nasional lantaran
keberadaan pusat pemerintahan dan organisasi politik yang berperan penting
dalam proses pelaksanaan sistem pemerintahan.
3. Peran Ibukota sebagai pusat
perwakilan asing, di mana Ibukota jadi lokasi organisasi internasional dan
kedudukan keduataan/konsulat negara-negara lain.
4. Peran Ibukota sebagai simbol
identitas nasional, di mana Ibukota menjadi simbol pemersatu yang memerlukan kapasitas pengelolaan keragaman
latar sosial.
5. Dalam posisi rangkap sebagai pusat
bisnis, peran Ibukota juga terkait aspek ekonomi yang memiliki
skala pelayanan nasional
dan segala kegiatan bisnis (pusat
perbankan, perkantoran, dst.) yang mampu mendukung roda perekonomian nasional.
6. Peran Ibukota dari aspek Hankam. Fungsi
stratejik ini terkait strategi militer yang melihat Ibukota sebagai target
utama penyerangan atas suatu Negara. Sementara dari sisi keamanan, Ibukota
kerap dilihat sebagai barometer keamanan nasional.
Jika
melihat substansi dari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 sebagai payung hukum
otonomi khusus Jakarta, Undang-undang ini belum mengakomodir ruang pengaturan
yang memadai atas peran ke-ibukota-an tersebut. Sehingga aspek-aspek dari peran
ke-ibukota-an di atas seolah berjalan tanpa didasari landasan hukum sebagai
bentuk kebijakan penyerahan kepada Jakarta. Padahal Ramses Mapaung mengemukakan
bahwa : “status kekhususan Jakarta Lahir
dalam konteks alasan khusus sebagai Ibukota, dan kewenangan khusus merupakan
manifestasi alasan khusus tersebut dalam pemerintahan. Lebih lanjut, kewenangan
khusus lalu menjadi dasar pembentukan kelembagaan khusus, pendanaan khusus, dan
segala elemen-elemen lain yang juga bersifat khusus”[10].
Tidak jelasnya materi kewenangan khusus sebagai Ibukota tersebut berimplikasi pada ketidakjelasan pula pengaturan
elemen-elemen penting lain dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus, seperti elemen kelembagaan
dan keuangan.
Dalam
dalam hal penyusunan urusan dan kewenangan khusus DKI Jakarta mestinya
peran/fungsi diatas menjadi esensi dari materi urusan Jakarta yang diperoleh
karena kekhususannya sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Sebagian dari
peran/fungsi ibukota di atas jelas merupakan urusan pemerintah pusat, namun
dalam kerangka desentralisasi asimetris maka kepada Jakarta perlu diserahkan
kewenangan pengaturan dan pengurusannya sebagai bagian dari urusan khusus
pemerintahan Ibukota. Misalnya urusan keamanan, sejatinya memang urusan
keamanan merupakan kewenangan pemerintah pusat yang tidak didelegasikan kepada
daerah, namun jika melihat kedudukan Jakarta yang memiliki kekhususan sebagai
Ibukota Negara maka bukan sesuatu yang tidak mungkin kewenangan tersebut juga
dapat diberikan kepada Pemerintah DKI Jakarta. Hal ini juga dibutuhkan karena
melihat peran Ibukota sebagai pusat perwakilan asing, di mana Ibukota menjadi
lokasi organisasi internasional dan kedudukan keduataan/konsulat negara-negara
lain yang membutuhkan keamanan dan perlindungan dari segala ancaman yang dapat
mengganggu stabilitas hubungan dengan negara-negara luar (politik luar negeri).
Kewenangan
yang dimiliki oleh Kabupaten/Kota yang bersifat administratif hanya sebagai
pelaksana tugas pemerintahan daerah[11].
Dengan demikian bahwa perangkat daerah yang dimiliki pun juga hanya membantu
dalam pelaksanaan teknis. Tugas khusus yang diberikan pemerintah kepada Kota
Jakarta yang berfungsi sebagai Ibukota Negara dengan meletakkan konstruksi
otonomi di provinsi belum mampu merefleksikan tugas khusus yang diberikan.
Status khusus sebenarnya telah jelas bahwa Kota Jakarta difungsikan sebagai
Daerah Khusus Ibukota (DKI), bukan untuk fungsi lainnya.
Pengkajian
ulang mengenai wewenang khusus apa yang sebenarnya sesuai dengan skema Ibukota
Negara nampaknya perlu dilakukan. Wewenang mengenai permasalahan yang
sepertinya dianggap khusus dalam undang-undang khusus Kota Jakarta masih
dirasakan menemui bias. Biasnya kewenangan baik itu secara substantif ataupun
secara struktur kelembagaan menjadikan hal-hal khusus tidak dapat secara fokus
dijalankan[12]. Daerah
Khusus Ibukota sejatinya tetap berkomitmen untuk menjadi daerah khusus ibukota
dengan tidak mengembangkan sayap dengan menjalankan kewenangan menjadikan Kota
Jakarta sebagai daerah khusus di bidang lain dengan memonopoli berbagai bidang
seperti bidang industri dan perdagangan seperti dijelaskan dalam
tugas khusus yang dijelaskan dalam undang-undang khusus yang mengaturnya.
Wewenang
Provinsi Jakarta dalam menjalani tugas khusus juga nampak kurang dapat berjalan
dengan baik seperti dalam bidang transportasi. Sistem transportasi menjadi
masalah pelik yang tidak kunjung dapat terselesaikan. Kemacetan parah terjadi
di berbagai ruas jalan kota jakarta. Transportasi massal yang digunakan oleh
pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk mengurai kemacetan tidak berjalan
efektif. Keberadaan Deputi Gubernur yang membidangi masalah transportasi pun tidak dapat berbuat
banyak. masih terkesan sebagai penasihat gubernur dapat dikatakan sesuai jika
hal demikian yang terjadi karena lemahnya posisi deputi gubernur sebagai
jabatan khusus di daerah khusus ibukota. Masih lemahnya pembagian sistem
koordinasi antara wewenang dengan konstruksi daerah khusus dan wewenang dengan
konstruksi daerah otonom menjadi serangan balik terhadap jalannya roda
pemerintahan yang tidak dapat menyelesaikan masalah. Senada dengan hal
tersebut, sistem koordinasi antara Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan daerah
sekitar seperti Jawa Barat dan Banten dalam menangani berbagai masalah masih
menemui kendala. Status khusus yang dimiliki DKI Jakarta belum mampu
menunjukkan taring. Masalah masih terus bergulir seraya niscaya bahwa solusi
akan masalah yang ada tersebut menemui jalan keluar.
Potret Ibukota
Mengutip
pendapat Maksum bahwa selain berbasis kedudukan sebagai Ibukota Negara (alasan
formal), status kekhususan Jakarta juga tak lepas dari dinamika aktual
perkembangan kota (Jakarta) yang telah mencapai taraf perkembangan sebagai
metropolitan, bahkan megapolitan. Lebih jauh lagi, bagi Maksum, alasan ini
lebih penting bahwa seyogyanya makna
kekhususan bukanlah karena Ibukota melainkan perkembangan kawasan perkotaan
sendiri.[13] Seiring
berjalannya waktu basis kekhususan DKI Jakarta sebagai Ibukota tidak lagi dapat
menjawab tantangan dari kompleksitas permasalahan yang timbul di Jakarta
seperti masalah ekonomi, sosial dan politik yang semakin dinamis. Penetapan
Kota Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota juga berimplikasi pada posisi rangkap sebagai pusat bisnis
dan perdagangan yang memiliki skala
pelayanan nasional dan
segala kegiatan bisnis yang mampu mendukung roda perekonomian nasional,
sehingga berbagai investor sangat berminat untuk
menanamkan modalnya di kota ini. Perputaran uang di Indonesia pun telah
tercatat 70% dikuasai oleh Jakarta sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Umum
Kadin, Suryo Bambang Sulisto[14]. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika angka urbanisasi terus menunjukkan angka yang tinggi. Data
dari Badan Pusat Statistik menunjukkan angka yang luar biasa, analisis yang dilakukan mulai
dari tahun 2000 sampai pada perkiraan tahun 2025 menunjukkan Kota Jakarta
mempunyai persentasi yang masih diatas rata-rata persentase nasional bahkan
menunjukkan angka 100%. Angka tersebut
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap peningkatan angka urbanisasi daerah
sekitar sepertio Jawa Barat dan Banten
yang diproyeksikan sampai pada tahun 2025 menyentuh angka di atas 80% sebagaimana
terlihat dalam tabel berikut[15] :
Provinsi
|
2000
|
2005
|
2010
|
2015
|
2020
|
2025
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
Jawa Barat
|
50,3
|
58,8
|
66,2
|
72,4
|
77,4
|
81,4
|
DKI Jakarta
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
Banten
|
52,2
|
60,2
|
67,2
|
73,0
|
77,7
|
81,5
|
Bukan hal itu saja,
jika dilihat dari kemampuan finansial provinsi DKI Jakarta memiliki kemampuan
finansial yang dapat dikatakan “lebih” dibandingkan dengan Provinsi lainnya,
hal ini dapat dilihat dari struktur pendapatan yang didominasi oleh Pendapatan
Asli Daerah (PAD) berbeda dengan daerah lainnya yang biasanya tergantung pada
dana transfer dari Pusat baik itu berupa DAU, DBH maupun DAK[16]. Hal ini
menunjukan kemandirian fiskal Provinsi DKI yang sudah mumpuni sehingga mereka
lebih leluasa dalam proses pelaksanaan perencanaan dan penganggaran setiap
tahunnya. Namun sangat disayangkan, kemandirian
fiskal tersebut tidak diimbangi dengan pemerataan dan peningkgatan kesejahteraan
di Provinsi DKI Jakarta. Hal ini dapat dlihat dari perkembangan jumlah penduduk
miskin di DKI Jakarta yang meningkat, pada Tahun 2013 jumlah penduduk miskin di
DKI Jakarta sebanyak 375,70 ribu orang (3,72 persen) dibandingkan dengan Tahun
2012 dengan jumlah penduduk miskin sebesar 366,77 ribu orang (3,70 persen),
jumlah penduduk miskin meningkat 8,93 ribu atau meningkat 0,02 poin dari tahun
sebelumnya. Kemandirian fiskal yang begitu mumpuni seharusnya dapat menjawab
isu dan permasalahan kemiskininan dan pemerataan kesejahteraan.
Gagasan Rekonstruksi Otonomi Khusus DKI Jakarta
Ada
beberapa hal yang layak untuk kita lakukan dalam rangka mengoptimalkan jalannya
otonomi khusus di DKI Jakarta. Yang Pertama,
Pemerintah perlu melakukan pengkajian ulang terkait esensi kekhususan dari
materi kewenangan dan urusan yang diemban oleh Provinsi DKI Jakarta sebagai
Ibukota Negara. Sehingga Provinsi DKI Jakarta mempunyai kewenangan yang jelas
untuk melaksanakan mana yang menjadi kewenangan khusus dan mana yang menjadi
kewenangan sebagai daerah otonom. Implikasinya struktur pemerintah yang
menjalankan roda pemerintah juga diharapkan mempunyai susunan yang lebih
signifikan dan mampu menciptakan susunan pemerintah yang handal.
Kedua, Alternatif dengan tetap
memberikan kekhususan sebagai daerah khusus ibukota namun tetap bersifat
otonomi penuh nampaknya menjadi solusi yang dapat dijadikan pilihan. Otonomi
penuh akan lebih membuat struktur pemerintah menjadi lebih tegas di jalur mana
koridor pemerintahan berjalan. Letak otonomi yang masih berada di tingkat
provinsi dengan kabupaten/kota bersifat administrasi hanya dilakukan pengkajian
mengenai restrukturisasi koordinasi mulai dari kelurahan hingga pada tingkat
provinsi. Pemangkasan jalur koorinasi menjadi salah satu cara yang dapat
dilakukan dengan meniadakan salah satu satuan kerja antara kecamatan dan
kelurahan sehingga koordinasi pelaksanaan tugas pemerintahan dapat lebih
efektif dan efisien.
Ketiga, Reposisi Gubernur tetap harus
dilakukan dengan lebih menekankan pada pelaksanaan otonomi penuh. Gubernur saat
ini hanya merupakan bentuk “sentralisasi halus” dari pemerintah yang masih
campur tangan dalam urusan pemerintahan jakarta sebagai daerah otonom. Posisi
gubernur dapat dinaikkan menjadi pejabat setingkat menteri yang tidak
hanya secara simbolis seperti berhak
atas protokoler dan mendampingi presiden, tetapi lebih jauh kepada kewenangan
yang dimiliki dan bertanggung jawab langsung kepada presiden[17].
Otonomi penuh yang tidak menghilangkan kekhususan dapat juga disertai dengan
masih adanya jabatan khusus Deputi Gubernur yang memberikan analisis terhadap
masalah-masalah khusus yang disertakan sesuai dengan kekhususan yang telah
ditetapkan. Jabatan khusus deputi gubernur tetap dapat melakukan koordinasi
sehubungan dengan analisis yang dibuat untuk mendukung perumusan kebijakan yang
akan diambil gubernur dalam tugas khusus tersebut sehingga tidak terjadi tumpah
tindih dengan bagian sekretariat yang juga melaksanakan tugas koordinasi di
luar tugas khusus yang telah ditetapkan.
Keempat, Kewenangan yang disertakan dalam
tugas khusus sebagai ibukota harus lebih substansif mengatur apa yang memang
menjadi kepentingan ibukota. tugas khusus yang telah dijabarkan dalam
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2007 masoih bersifat umum sehingga belum nampak jelas perbedaan dengan urusan
pemerintahan daerah otonom lain. Jikapun memang
hal-hal tersebut menjadi masalah krusial
dalam statusnya Jakarta sebagai ibukota negara, penekanan terhadap
pelaksanaan teknis kegiatan khusus perlu dilakukan seperti dalam penjabaran
tupoksi organisasi perangkat daerah khusus ibukota pada masing-masing bidang.
[1] Lihat : Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945
[2] Lihat : Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 pada Bab V tentang
Kewenangan dan Urusan Pemerintah Provinsi
[3] Terdapat 14 Prinsip Good
Governance yang dikemukakan oleh UNDP yaitu Wawasan ke depan, keterbukaan
dan transparansi, partisipasi masyarakat, tanggung jawab, supremasi hukum,
demokrasi, profesionalisme dan kompetensi, daya tanggap, keefisienan dan
efektifitas, desentralisasi, kemitraan dengan dunia usaha swasta dan
masyarakat, komitmen pada lingkungan hidup, komitmen pasar yang fair.
[4] Lihat : Pasal 14 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007
[5] Jaweng, Robertus Na endi. 2012. Analisis Kewenangan Khusus Jakarta
Sebagai Ibukota Negara Dalam Konteks Desentralisasi Di Indonesia. Jakarta :
Program Pasca Sarjana Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (Hal. 78-79)
[6] Lihat : UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 15 Ayat (4) urusan pemerintahan yang
dikecualikan dari usuran daerah meliputi : urusan politik lura negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama, serta
bagian-bagian dari urusan pemerintahan lain yang menjadi urusan Pemerintah
Pusat
[7] http://muhadamlabolo.blogspot.com/2014/02/prospek-desentralisasi-asimetrik.html, Diakses tanggal 3 April 2014.
[8] Andy
Ramses, “Otonomi Khusus Provinsi DKI Jakarta“ dalam Andy Ramses dan La Bakry
(Ed.), ”Pemerintahan Daerah di Indonesia”, Jakarta: Pemprov DKI Jakarta dan
MIPI, 2009, hlm.99.
[9] Tim Kajian Ditjen
Penataan Ruang Kementerian PU, “Studi Pengembangan Ibu Kota Negara”, 2009.
[10] Andy Ramses Marpaung
dalam Jaweng “Rekonstruksi Kekhususan Jakarta”, dimuat dalam Analisis CSIS,
Vol.41, No.2 Ed. Juni 2012, Hlm 272.
[11] Lihat : Peraturan daerah
Provinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2008
Pasal 134-139
[12] Dalam hal ikhwal
kekhususannya sebagai ibukota sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Noor 29
Tahun 2007, Kota Jakarta seharusnya memenui beberapa aspek yang berikatan
dengan hasil kajian Kementerian Pekerjaan Umum tentang Kajian Pengembangan
Ibukota, namun bukan berarti dalam pelaksanaannya memonopoli berbagai aspek terlebih lagi monopoli kegiatan ekonomi yang terfokus di
Kota Jakarta.
[13] Irfan Ridwan Maksum,
“Mengelola Megapolitan Jakarta: Quo Vadis?”, Jurnal MAKARA, Vol.13 No.1, Juli
2009, hlm 13-14.
[14] http://detik.com/finance/read/2013/02/27/134141/2181083/4/
“Jakarta Kuasai 70% Perputaran Uang, Sayangnya Kesenjangan Tinggi” Diakases
tanggal 4 April 2014
[15] Berdasarka data statistik
indonesia tentang proyeksi pennduduk 2000-2025 (www.statistik-indonesia.com)
diakses tanggal 3 April 2014.
[16] Tahun 2012 PAD DKI
Jakarta Sebesar 30,6 Truliun, DAU sebesar 209 M, dan DBH sebesar 8 Triliun.
[17] Konsep tersebut pernah
digunakan pada saat masih berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dengan
Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 1963 bahwa disebutkan Kedudukan kepala Daerah
DKI Jakarta adalah setingkat menetri dan bertanggung jawab langsng kepada
presiden.
KRITIK OTONOMI KHUSUS PROVINSI DKI JAKARTA