Minggu, 21 Juli 2013

Sekilas Regionalisasi

Regionalisasi.
Selalu menjadi kata menakutkan bagi orang-orang bermental tipis dan menjadi kata yang ditunggu-tunggu bagi yang bermental baja. Orang bermental tipis selalu takut menghadapi regionalisasi, menganggap kampus regional mimpi buruk. Takut keluar dari zona nyaman dan segala kemegahan kampus Jatinangor. Tapi orang bermental baja selalu menungu pengumuman regional, siap apapun keputusan yang diterima, tetap di Jatinangor atau berangkat ke regional , untuk membuktikan kelayakan mental menjadi Praja IPDN.

Izinkan saya bercerita dan beropini tentang regionalisasi..

Beberapa hari sebelum regionalisasi, digelar malam keakraban. Saling mendoakan agar ditugaskan ke kampus pilihannya. Saling berjanji akan terus menjaga silaturahmi setelah berbeda kampus. Berusaha semakin mengakrabkan diri dengan keluarga satu angkatan sebelum berpisah selama lebih dari dua tahun.







          Hari pengumuman. Bermacam-macam ekspresi saya lihat di wajah keluarga satu angkatan saya. Stres, cemas, sedih, antusias, tegang, segala ekspresi tumpah di gedung Balairung Rudini, tapi semua masih terus mencoba tersenyum dan tertawa berusaha santai mengurangi ketegangan.
Lalu, mulailah satu persatu nama untuk tiap kampus disebutkan.
Suasana berubah drastis. Tangis Wanita Praja pecah. Praja putra mencoba menenangkan, tidak sedikit juga yang sambil menahan air mata. Semua nyaris kalap. Yang namanya disebutkan untuk pergi ke kampus regional mencoba tersenyum dan menenangkan temannya yang histeris karena tidak mau berpisah.
1500 orang anak manusia dari Sabang sampai Merauke histeris. Tidak ingin berpisah. Merinding setiap saya mengingat momen itu. Terlihat sifat dasar manusia, saling mengasihi dan saling membutuhkan, ingin terus bersama. Malam itu terakhir kali angkatan kami lengkap berkumpul sebelum nanti pada saat menjelang wisuda, keesokan harinya, rombongan pertama akan berangkat ke kampus regional.
Saya tidak mau munafik, saya juga dulu ingin tetap di kampus Jatinangor. Nyaris semua Praja juga mengharapkan yang sama, tapi Tuhan punya rencana lain untuk saya. Nama saya masuk ke dalam daftar Praja yang akan diberangkatkan ke Kampus IPDN Sulsel bersama ratusan orang lainnya, dua hari sejak pengumuman saya akan berangkat.
Berpamitan adalah bagian terberat dari regionalisasi. Kepada keluarga di rumah, minta izin dan doa untuk pergi ke pulau sebrang dan kepada keluarga besar angkatan saya di Jatinangor. Satu persatu rekan dan kakak angkatan saya salami sambil berpamitan.
Akhirnya momen emosional itu berakhir untuk sementara, menyisakan banyak mata sembab yang siap kembali menangis saat pemberangkatan.
Pemberangkatan regional kembali menjadi momen yang sangat emosional. Melihat satu persatu saudara satu angkatan saya mengepak semua barang-barangnya, lalu naik ke bus setelah sebelumnya kembali berpamitan sambil terus mencoba tersenyum. Bus beranjak perlahan, semua yang ada di dalam bus melambaikan tangan sambil menyerukan kata perpisahan disertai senyum, mengucap perpisahan pada Lembah Manglayang dan segala isinya. Bus menjauh, menyisakan mata-mata sembab para Wanita Praja yang saling berangkulan, serta Praja putra yang diam mematung. Ternyata begini rasanya ditinggalkan saudara-saudara berangkat regional, tapi malam berikutnya giliran saya yang meninggalkan Jatinangor.
Meninggalkan nyaris sama beratnya dengan ditinggalkan. Keluarga saya di Jatinangor harus saya tinggalkan. Setelah barang masuk mobil, saya turun kembali menghampiri saudara-saudara saya yang mengantar keberangkatan saya.
“hati-hati di jalan lur, jaga diri, kasih kabar kalau sudah sampai..”
”akaaaang.. jangan pergi atuh, nanti yang dengerin neng cerita siapa.. yang beliin neng coklat sambil bantuin ngerjain tugas siapa..”
“akang cepet pulang ya, nanti cuti harus ikut kumpul, jangan sombong kalo udah disana, inget disini banyak yang nungguin akang balik lagi ke Nangor”
“akang.. jangan makan coto terus disana, nanti gendut!”
“sukses terus lur, selamat berjuang, nanti setelah Wasana semua kembali berkumpul lengkap, sukses!”
Masih banyak lagi ucapan-ucapan perpisahan dan doa yang saya dengar. Tidak sedikit yang memberi barang kenang-kenangan untuk dibawa. Berat memang rasanya. Tapi akhirnya tiba saatnya saya masuk ke dalam bus yang akan membawa saya ke bandara untuk selanjutnya terbang ke Sulawesi Selatan. Bus beranjak perlahan, saya melambaikan tangan pada saudara-saudara saya yang berdiri di samping jalan, sampai akhirnya melewati gerbang PKD dan masuk ke jalan raya. Selamat tinggal Jatinangor, sampai bertemu beberapa tahun lagi..

















Satu bulan pertama di kampus regional adalah masa-masa adaptasi. Mulai berkenalan dengan kakak-kakak angkatan XIX dan XX yang sudah lebih dulu berangkat ke kampus regional. Masih banyak rindu suasana Jatinangor, masih selalu membanding-bandingkan antara kampus regional dengan kampus Jatinangor. Kadang masih ada yang marah kenapa harus berangkat ke regional. Awan mendung belum pergi dari angkatan kami. Tapi semua memang butuh waktu. Pelan-pelan kami mulai menikmati suasana di kampus baru kami. Semua mulai kembali berjalan normal tanpa terlalu banyak keluhan akibat regionalisasi.
Kampus pusat Jatinangor dengan kampus-kampus regional berbeda? Jelas. Itu sudah pasti. Setiap kampus memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tapi pada dasarnya semua sama saja, tidak ada yang berbeda. Hanya saja di Jatinangor memang pusat dari segala kegiatan dan acara besar IPDN seperti Pelantikan Muda Praja serta Wisudan dan Pengukuhan Pamong Praja Muda. Itu saja yang membedakan menurut saya, selebihnya sama saja.
Apa yang harus ditakuti dari kampus regional? Semua unit kegiatan nyaris sama, sistem pendidikan sama pengajaran-pelatihan-pengasuhan, yudisium dilaksanakan bersamaan di seluruh kampus, kegiatan di kampus sama saja. Lalu kenapa regionalisasi selalu dianggap mimpi buruk?
Hanya karena tidak bisa menghadiri Pelantikan Muda Praja adik angkatan dan Pengukuhan Pamong Praja Muda kakak angkatan? Karena fasilitas di kampus regional lebih sederhana? Karena tidak menjadi bagian dari kampus pusat? Takut jauh dari rumah? Bukankah itu resiko? Terlalu naif kalau memang begitu. Think again. Renungkan. Kampus regional sama saja dengan kampus pusat.
Bukankah kita semua sudah menandatangani surat pernyataan yang berisi bahwa kita siap ditempatkan dimana saja dilengkapi tanda tangan bermaterai? Pernyataan tersebut bukan hanya berlaku untuk penempatan kerja, tapi juga penempatan pendidikan.
Banyak keuntungan ketika berangkat ke kampus regional menurut saya. Pertama, kita mempunyai kampus dan rumah kedua selain di Jatinangor, lalu wisma tempat tinggal yang lebih nyaman, satu kamar hanya lima orang tidak seperti di Jatinangor yang satu wisma mencapai lima puluh orang yang dibagi-bagi menjadi sapuluh orang tiap petak. Jauh lebih nyaman menurut saya. Pembelajaran pun lebih efektif karena Praja yang ada tidak terlalu banyak. Dan lagi ketika yang lain di Jatinangor baru bisa definitif sebagai fungsionaris Wahana Wyata Praja (WWP) pada saat Wasana, kita sudah bisa menjadi fungsionaris WWP saat Nindya.Pelaksanaan praktek lapangan pun lebih efektif, semuanya bertahap dari tingkat desa lalu kecamatan dan terakhir instansi pemerintahan tingkat kabupaten.
Salah satu hal yang paling penting yang saya rasakan ketika di kampus regional adalah persaudaran dan kekeluargaan yang sangat erat. Tidak hanya dengan satu angkatan tetapi juga dengan kakak dan adik angkatan. Benar-benar seperti keluarga sendiri. Bukan maksud saya untuk menilai di Jatinangor tidak ada kekeluargaan secara tersirat, tetapi di kampus regional jumlah Praja lebih sedikit sehingga interaksi lebih intens dan memungkinkan semuanya menjadi lebih dekat.
Lalu hal terpenting yang didapatkan dari regional apa? Pengalaman. Ya, tidak semua orang diberi kesempatan untuk merasakan tinggal di kampus regional. Pengalaman dan pembelajaran selama di kampus regional tidak akan bisa tergantikan oleh apapun.
Seberat apapun, sesulit apapun, sebenci apapun pada kampus regional pada awalnya, toh pada akhirnya semua akan jatuh cinta pada kampus sederhana itu.
Mendekati saat-saat kepulangan dari kampus regional, malah semakin terasa berat untuk meninggalkan kampus yang dulu enggan untuk dihuni. Melihat wisma, kelas, lapang upacara, jogging track, kantin, gerbang depan, semua hal disini. Semuanya membuat rindu bahkan sebelum ditinggalkan. Cuti yang dulu ditunggu-tunggu dan berharap dipercepat kedatangannya agar bisa segera pulang ke rumah meninggalkan kampus regional malah jadi diharapkan untuk diperlambat. Kepulangan kembali ke kampus Jatinangor yang dulu selalu diidam-idamkan menjadi tidak begitu menarik ketika tertimbun perasaan berat meninggalkan kampus regional.
Mendadak semua hal menjadi begitu indah. Semua elemen akan dirindukan sepulangnya dari kampus regional. Panasnya matahari. Makanan menza dan kantin. Tempat pesiar. Tempat jaga posko beserta para nyamuk. Dan tentu saja para dosen, pengasuh dan pegawai yang sudah banyak memberikan pelajaran hidup selama disana. Entah kapan bisa kembali ke kampus tersebut, entah akankah Tuhan memberi kesempatan untuk kembali atau tidak. Dulu,ketika berangkat dari Jatinangor, bisa dipastikan bahwa semua akan kembali kesana. Tapi ketika harus meninggalkan kampus regional, tidak ada jaminan bahwa akan ada kesempatan kedua untuk kembali. Berkeliling kampus, melihat semua hal disana, mematri ingatan baik-baik di dalam otak tentang semuanya lalu mengucapkan selamat tinggal pada semuanya, tanpa bisa berjanji akan kembali.



Pada akhirnya, akan terasa berat untuk meninggalkan kampus regional, jauh lebih berat daripada ketika dulu berangkat kesana meninggalkan Jatinangor..

0 komentar:

Posting Komentar